Tuhan Disebrang Jalan

Selamat datang, 2025
Engkau tiba seperti tamu yang tak diundang,
mengetuk pintu malam, membawa kantong penuh teka-teki.
Di meja kami, sudah ada kopi dingin dan puisi yang setengah jadi,
juga harapan-harapan kecil yang terlalu takut tumbuh besar.
Kami bertanya,
apakah engkau tahun yang akan menjawab doa-doa
atau sekadar memperpanjang lelucon buruk dari tahun sebelumnya?
Kami bertanya,
apakah engkau punya mantra yang kuat
atau hanya setumpuk poster kampanye yang lupa dibakar?
Di sudut gedung tak bernama,
seorang peracik absurditas sibuk menyulam aturan-aturan kosong,
mengubur janji dalam kubangan retorika,
menghias kehancuran dengan kertas emas.
Sementara itu,
penjaga kursi kekuasaan berdiri tegak dengan senyum retak,
menjual masa depan demi keberlangsungan kekosongan,
berpura-pura tuli di tengah sorak dan serapah.
Kami berjalan di tanah ini,
tanah yang terlalu indah untuk dicintai dengan setengah hati,
tanah yang terus memberi meski dicuri berkali-kali.
Namun, apakah cinta pada tanah ini
harus memaksa kami tunduk pada mereka
yang hanya mencintai kuasa atas debu dan api?
Bolehkah kami mencintai udara yang masih berhembus,
hutan yang mulai menipis, dan sungai yang perlahan mati,
tanpa harus mengangkat topi pada mereka yang berdiri di balkon?
Engkau, 2025, adalah cermin yang akan memperlihatkan
wajah kami apa adanya
pucat, letih, namun tetap memeluk harapan kecil.
Lalu Tampak
Di seberang jalan,
Tuhan berdiri, malas menatap,
menunggu kita memutuskan
akan menyeberang dengan kepala tegak,
atau terus merangkak dalam lingkaran yang sama.