08 September 2025





Cinta, di mata manusia, selalu menjadi teka-teki yang tak pernah selesai. Kita lahir, tumbuh, lalu di suatu titik dada kita bergetar oleh sesuatu yang disebut cinta. Filosof eksistensialis mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang terlempar ke dunia tanpa panduan, lalu berusaha memberi arti pada segala hal. Dan di tengah kekosongan itu, cinta hadir bukan sebagai jawaban, melainkan sebagai pertanyaan baru.

Jean-Paul Sartre pernah menulis bahwa cinta adalah proyek yang hampir mustahil. Dua kebebasan bertemu, lalu saling mencoba memiliki. Tetapi kebebasan, pada hakikatnya, tidak bisa dipenjara. Maka setiap upaya untuk menjadikan cinta sebagai kepemilikan sering berujung pada kegagalan. Dari situ lahirlah kecemburuan, luka, pengkhianatan. Cinta berubah dari pelukan hangat menjadi borgol emas.

Namun Albert Camus, sahabat eksistensial yang lebih riang, mengingatkan kita: jangan menuntut makna final dari cinta. Sama seperti hidup, cinta itu absurd. Kita mencintai meski tahu akhirnya bisa hancur. Kita mengulang jatuh cinta meski sadar batu itu akan menggelinding turun seperti nasib Sisyphus. Dan di sanalah justru letak keberanian kita. Cinta tidak harus menjanjikan kekekalan, cukup menjadi alasan untuk tersenyum di tengah absurditas.

Nietzsche masuk dengan teriakannya yang khas. Ia menolak cinta yang tunduk pada moral lama, pada dogma, atau pada tata aturan yang mencekik. Baginya, cinta harus menjadi afirmasi hidup: teriakan lantang bahwa kita berani berkata “iya” pada dunia, sekalipun dunia itu kejam dan penuh kehancuran. Cinta bukan sekadar rasa, tetapi juga ledakan vitalitas, sebuah cara untuk menari di tepi jurang sambil tetap merasa hidup.

Di sudut lain, Marx menatap kita dengan senyum getir. Ia tahu cinta tak pernah steril dari ekonomi politik. Kapitalisme menjual cinta dalam bentuk paket bulan madu, perhiasan, iklan parfum, bahkan dalam algoritma aplikasi kencan. Cinta dijadikan komoditas, dipasarkan, diberi harga. Kita sering mengira sedang mencinta, padahal sebenarnya hanya sedang memainkan skrip yang ditulis oleh pasar. Marx mengingatkan bahwa ada relasi produksi bahkan dalam pelukan paling mesra.

Mikhail Bakunin, sang anarkis, tak mau kalah. Ia berteriak bahwa cinta sejati hanya bisa lahir dari kebebasan mutlak. Tidak ada negara, tidak ada hukum adat, tidak ada tangan besi yang boleh mengatur siapa boleh mencintai siapa. Bagi Bakunin, cinta adalah api revolusi kecil yang menyala di dada manusia yang menolak diperintah. Cinta menjadi ruang perlawanan, tempat dua orang merobohkan tembok yang membatasi kebebasan mereka.

Maka cinta tampil bukan hanya sebagai bunga, tapi juga sebagai pisau. Ia bisa menjadi absurditas yang lucu, bisa menjelma nihilisme yang getir, bisa tergelincir menjadi komoditas, atau justru meledak menjadi revolusi. Cinta bukan sekadar soal hati, tapi juga soal tubuh, soal struktur, soal kebebasan. Ia bisa membuat manusia pasrah, tapi juga bisa membuat manusia berontak.

Dan pada akhirnya, kita hanya bisa mengaku: cinta adalah pilihan. Ia tidak menunggu izin dari Tuhan, pasar, atau negara. Ia lahir dari keberanian manusia untuk menggenggam tangan seseorang, meski tahu genggaman itu rapuh. Ia berdiri di atas tanah yang retak, menatap langit yang kosong, tapi tetap berani berkata: aku memilihmu.

Itulah cinta eksistensial, absurd, komoditas, sekaligus revolusi. Sebuah paradoks yang, justru karena itulah, terus membuat kita hidup.