Tuhan, Berpihaklah pada yang Netral!
Kita hidup di dunia yang penuh ketidakadilan, tapi anehnya, di banyak tempat, agama justru sibuk membela status quo. Para pemuka agama yang harusnya membela kaum lemah malah sibuk berdamai dengan kekuasaan, memastikan bahwa Tuhan tetap berpihak kepada mereka yang berkuasa.
Di tengah absurditas ini, ada sekelompok orang yang berani berpikir beda. Mereka percaya bahwa agama bukan sekadar doa dan ibadah individual, tapi juga alat perlawanan terhadap tirani. Orang-orang ini bicara tentang teologi pembebasan dan Islam kiri, gagasan yang dianggap terlalu revolusioner oleh mereka yang nyaman dengan dunia yang timpang.
Bagi para pemikir ini, agama tidak boleh netral. Karena netralitas dalam sistem yang menindas hanya berarti berpihak pada penindas. Mereka menelusuri jejak Islam dan menemukan bahwa Nabi Muhammad bukan hanya guru spiritual, tapi juga pemimpin revolusi sosial. Ia membebaskan budak, menentang feodalisme Quraisy, dan membangun masyarakat yang egaliter. Dalam Al-Qur’an pun, ada seruan untuk membela kaum mustadh’afin—mereka yang tertindas oleh sistem sosial dan ekonomi.
Tapi tentu saja, bicara soal keadilan sosial dengan pendekatan agama itu berbahaya. Bagi mereka yang berkuasa, lebih nyaman jika agama tetap jadi candu yang menenangkan orang miskin, bukan jadi bensin yang membakar semangat perlawanan mereka. Maka dari itu, konsep teologi pembebasan dan Islam kiri harus diberangus. Mereka yang bicara soal kesenjangan ekonomi akan dicap sesat. Mereka yang mengkritik eksploitasi akan dituduh komunis. Mereka yang mengaitkan Islam dengan perjuangan buruh dan tani akan dianggap merusak citra agama.
Di negeri ini, agama lebih sering jadi alat legitimasi bagi mereka yang duduk di atas singgasana, bukan palu keadilan bagi mereka yang diinjak. Maka wajar jika ada banyak ustaz yang sibuk membela kebijakan neoliberalisme daripada membela buruh yang upahnya dirampas. Wajar jika banyak ulama yang lebih berisik soal aurat perempuan daripada perampasan tanah petani. Wajar jika khutbah Jumat lebih sering berisi anjuran bersabar dalam kemiskinan daripada seruan untuk melawan korupsi dan kesewenang-wenangan.
Sebab bagi mereka, agama adalah pengendali, bukan pembebas.
Padahal, jika kita berani membaca sejarah Islam secara jujur, kita akan menemukan bahwa agama ini lahir bukan untuk mendiamkan yang tertindas, tapi untuk membebaskan mereka. Islam tidak datang untuk mendukung elite yang menumpuk kekayaan dengan eksploitasi, tapi untuk merombak sistem yang timpang. Tauhid bukan hanya soal mengakui keesaan Tuhan, tapi juga soal membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan, baik itu ekonomi, sosial, maupun politik.
Tapi semua ini tentu terlalu berbahaya bagi mereka yang ingin agama tetap menjadi alat pelanggeng kekuasaan. Maka dari itu, Islam harus dibuat jinak. Tuhan harus dibuat netral. Dan kita harus diajarkan untuk tetap menerima dunia yang tidak adil ini sebagai bagian dari takdir ilahi.
Begitulah cara agama dijadikan sekadar obat tidur bagi rakyat.
Tapi, sampai kapan kita terus tertidur?