Kami Tak Nakal, Hanya Terlalu Ingin Tahu
Kenakalan kami terbatas, tapi kreatif. Kami bukan anak nakal dalam arti kriminal; kami hanya terlalu cerdas untuk duduk diam, dan terlalu bosan untuk jadi biasa.
Di SMA Rancaekek, Senin pagi bukan tentang baris-berbaris atau menyanyikan lagu kebangsaan dengan mulut setengah menguap. Senin pagi adalah panggung bawah tanah bagi eksperimen liar, proyek gila, dan kesepakatan rahasia antarkelas. Contohnya: proyek alat musik dari paralon yang digergaji di belakang sekolah, konon demi tugas seni budaya. “Ini alat perkusi kontemporer,” kata kami kepada guru. Dan mereka tidak marah, tidak mencibir. Mereka tersenyum dan menyebutnya kreativitas yang tidak bisa diajarkan. Karena hanya guru hebat yang mampu melihat potensi di balik kekacauan.
Kami bukan sendiri. Kami koalisi. Kelas IPS dan Bahasa bersatu dalam satu visi malas tapi brilian. Kami menyusun panggung dari kursi patah dan meja rusak yang entah bagaimana bisa menopang tiga orang dan satu spanduk bertuliskan “Pendidikan Gratis atau Kami Tidur Lagi.”
Orasi dimulai. Suara kami serak, tak dilatih, tapi penuh daya. Kami bicara soal keadilan, soal biaya, soal nasib anak-anak di luar pagar sekolah yang tidak bisa duduk di bangku yang bahkan sudah retak. Anak-anak IPA menonton dari jauh. Guru piket tersenyum kecil, bukan mencemooh, tapi senyum orang yang mengerti bahwa muridnya sedang belajar sesuatu yang tidak ada di modul.
Kami bikin puisi dari tugas Bahasa. Kutipan sosiologi jadi yel-yel. Dan statistik kami pelajari hanya untuk tahu seberapa banyak ketidakadilan bisa dibungkus angka.
Di tengah segala kelakuan kami, yang lebih sering tampak seperti eksperimen sosial daripada pelajaran, selalu ada para guru yang berdiri tegak meski mungkin di dalam hati sudah lelah. Mereka tidak menertawakan kami, tidak pula menghakimi. Mereka mengamati, membimbing diam-diam, dan menunggu saat yang tepat untuk bicara tanpa merendahkan. Mereka tahu tidak semua anak belajar dari buku. Beberapa belajar dari kegagalan, dari proyek absurd, dari kenakalan yang sebenarnya adalah cara mencari makna. Dan mereka membiarkan itu terjadi, dengan pengawasan, dengan sabar, dengan dedikasi yang tidak selalu dipahami saat itu juga.
Kami pernah masuk ruang BK lebih sering dari ruang perpustakaan. Tapi tiap kali datang, kami membawa proposal. Judulnya macam-macam, dari “Strategi Survival Intelektual di Lingkungan Terstandarisasi” sampai “Seni Melawan Kantuk dalam Pendidikan Formal.” Guru BK membacanya dengan dahi berkerut, tapi mata penuh hormat.
Kemudian waktu berlalu. Panggung dari meja itu sudah jadi kayu bakar. Paralon kami mungkin sudah digunakan ulang jadi saluran air. Tapi pagi tetap datang. Kami semua, kini sarjana. Dengan rambut lebih rapi, dengan hidup yang tetap tak selalu pasti, tapi dengan semangat yang tak pernah bisa dipaku ke bangku kerja.
Namun di hati, kenakalan itu tetap tinggal. Kami masih suka menunda hal penting demi diskusi yang lebih penting. Kami masih membuat lelucon dari dokumen resmi. Kami masih percaya bahwa dunia ini terlalu penting untuk diserahkan pada orang yang terlalu serius.
Kami juga ayah sekarang. Yang bangun pagi bukan karena bel sekolah, tapi karena anak kami harus tetap makan, dan listrik tak boleh mati. Kami tahu rasanya berjuang dan kami ajarkan anak-anak kami untuk tetap bermimpi dengan tangan bersih, kepala tegak, dan rasa ingin tahu yang tak habis-habis.
Kami bangga. Bangga pernah jadi berandalan akademis. Bangga pernah menyusun panggung dari reruntuhan. Bangga pernah teriak soal pendidikan gratis dengan speaker dari kaleng biskuit dan semangat yang lebih keras dari mikrofon rusak.
SMA Rancaekek bukan sekadar sekolah. Ia adalah tempat kami belajar bahwa melawan bisa dilakukan dengan senyum. Bahwa idealisme bisa lahir dari kantin yang kehabisan gorengan. Dan bahwa sejarah juga bisa ditulis oleh anak-anak malas yang tidak menyerah.
Kami berandalan, iya. Tapi berandalan yang tahu makna. Dan itu adalah pelajaran sejati.
Dan kepada para guru kami, yang tak pernah berhenti percaya pada anak-anak yang terlalu banyak bertanya, yang tetap berdiri meski semangat muridnya naik-turun seperti grafik mood, yang menanam ilmu bukan hanya di kepala, tapi di dada. Kami berdiri dan memberi hormat. Sebab perjuangan mereka tak pernah sia-sia.