SupremasiSipil yang Plin Plan
Di negeri yang pernah menyebut dirinya demokrasi muda, kita menyaksikan satu per satu prinsip dasar demokrasi tergerus diam-diam, nyaris tanpa perlawanan. Tak ada kudeta, tak ada tank di jalanan, tapi rasa-rasanya sipil sudah lama tak berdaulat di rumahnya sendiri. Jas yang dulu melambangkan kepemimpinan sipil kini hanya tampilan luar. Isinya seragam. Cara berpikirnya seragam. Dan kadang, isi bicaranya pun tak jauh beda dari aba-aba barak.
Supremasi sipil, konsep yang dulu digembar-gemborkan reformasi 1998, kini terdengar seperti jargon tua yang disimpan dalam arsip. Sekadar kata-kata indah yang sudah lama tak lagi jadi praktik. Padahal, dalam demokrasi sejati, sipillah yang seharusnya memegang kendali atas militer. Militer tunduk pada otoritas sipil. Karena di tangan sipil ada mandat rakyat. Sedangkan militer, betapapun jasanya besar, bukan representasi rakyat. Ia alat, bukan pengambil keputusan. Ia pelaksana, bukan penentu arah bangsa.
Namun hari-hari ini, yang terjadi justru sebaliknya. Kita melihat panggung politik dipenuhi wajah-wajah bekas jenderal. Mereka datang membawa kredensial kedisiplinan, ketegasan, dan citra bersih. Hal-hal yang tampaknya sudah sangat langka di antara para politisi sipil. Dan masyarakat, yang sudah terlalu lelah dengan dagelan partai, terlalu jenuh dengan drama korupsi, akhirnya menyambut mereka dengan tangan terbuka. Ironisnya, justru dari keputusasaan terhadap sipil, kekuasaan militer diberi jalan.
Tapi kita lupa satu hal mendasar. Keefektifan bukan pembenaran absolut. Ketegasan bukan jaminan keadilan. Dan stabilitas, tanpa ruang bagi kritik dan partisipasi, bukan stabilitas. Itu represi. Supremasi militer atas sipil bukan hanya masalah struktur, melainkan masalah budaya. Ia menciptakan masyarakat yang takut bertanya, enggan berdebat, dan terbiasa patuh. Demokrasi tanpa suara sipil yang kuat akan berubah menjadi demokrasi kosmetik. Tampak baik di permukaan, tapi keropos di dalam.
Yang lebih berbahaya adalah ketika masyarakat mulai menginternalisasi logika militer dalam kehidupan sehari-hari. Sekolah-sekolah mulai menanamkan kepatuhan, bukan nalar. Media-media menggambarkan kepemimpinan ideal sebagai figur yang keras, galak, tak bisa diganggu gugat. Kita perlahan kehilangan keberanian untuk berbeda pendapat, dan mulai menganggap pertanyaan sebagai bentuk pembangkangan.
Ini bukan sekadar tentang siapa yang duduk di kursi kekuasaan. Ini tentang siapa yang memiliki legitimasi untuk berbicara atas nama rakyat. Ketika sipil takut pada seragam, bukan hormat padanya, maka relasi kuasa sudah timpang. Dan relasi yang timpang, dalam sejarah manapun, tak pernah menghasilkan masyarakat yang sehat.
Supremasi sipil bukan sekadar idealisme. Ia adalah prasyarat agar negara tidak berubah menjadi mesin yang hanya mengabdi pada logika keamanan dan ketertiban. Negara bukan kamp militer. Warga negara bukan prajurit. Dan politik bukan instruksi dari atas ke bawah. Dalam negara demokratis, rakyat adalah komando tertinggi. Bukan jenderal. Bukan menteri. Bukan elite mana pun yang tak pernah diuji lewat suara rakyat.
Kini saatnya kita bertanya dengan serius. Benarkah demokrasi masih hidup jika sipil hanya jadi pelengkap, sementara seragam mengendalikan panggung? Dan jika jawabannya tidak, kita harus memutuskan. Diam dan menerima, atau bersuara dan memperjuangkan kembali tatanan yang sehat. Karena jika seragam terus mengalahkan jas, maka pada akhirnya, kita semua akan dikomando, bukan diajak berpikir.
Aluta Contuinita