15 April 2025



Nietzsche pernah bilang, “Moralitas adalah insting kawanan.” Tapi Nietzsche belum pernah baca Enny Arrow di toilet umum sambil ngumpet dari satpam. Andaikan dia sempat, mungkin kalimat itu akan berbunyi lain: moralitas adalah ketakutan orang kaya terhadap kenikmatan orang miskin.

Karena begini: di negeri ini, tubuh adalah dosa, kecuali kalau ditampilkan dalam iklan kecantikan atau kampanye pemilu. Hasrat adalah aib, kecuali kalau diam-diam bisa dijual. Dan membaca Enny Arrow? Ah, itu dianggap kejahatan, kecuali kau pejabat yang menyimpannya sebagai guilty pleasure di folder bernama “kerja dinas”.

Saya membaca Enny Arrow bukan karena saya bejat. Saya membacanya karena saya waras. Di dunia yang penuh basa-basi, kadang satu paragraf cabul lebih menyentuh daripada seribu ceramah motivasi.

Apa salahnya membaca cerita tentang tubuh? Apakah tubuh ini bukan milik saya? Siapa yang memberi wewenang pada moral publik untuk menata isi pikiran pribadi saya? Di sinilah saya ingin bersaksi, atas nama para pembaca gelap: bahwa Enny Arrow lebih jujur dari iklan pasta gigi, lebih membebaskan daripada RUU yang katanya berpihak pada rakyat tapi tak pernah turun ke dapur.

Saya membaca Enny Arrow karena Marx benar: kesadaran manusia ditentukan oleh kondisi materialnya. Dan kondisi saya? Tidak punya AC, kerja kontrak, saldo pas-pasan. Jadi kalau saya memilih cerita yang bisa membuat saya berkeringat bukan karena tagihan, biarkan itu jadi bentuk perlawanan kelas.

Foucault menulis tentang bagaimana kekuasaan bekerja lewat disiplin tubuh. Tapi Enny Arrow mengajari saya bahwa tubuh juga bisa membalas. Dengan gerakan. Dengan gesekan. Dengan desahan yang ditulis tanpa malu. Ini bukan cuma erotika. Ini estetika dari yang dibungkam. Enny bukan sekadar pengarang cabul. Ia adalah suara yang menjelaskan bagian tubuh yang tak pernah dijelaskan oleh guru PPKn.

Dan kami, para pembacanya, adalah kaum yang tidak dilindungi undang-undang, tapi tetap bisa tertawa dalam sunyi. Kami membaca bukan untuk menjadi lebih pintar. Kami membaca untuk tetap merasa hidup.

Kata Pidi Baiq, "Perasaan tidak bisa diatur. Maka jangan main-main dengan yang namanya perasaan." Saya tambahkan: jangan main-main juga dengan yang namanya pembaca Enny Arrow. Karena kami mungkin tidak bisa kutip Derrida, tapi kami tahu rasanya dikejar satpam waktu baca “Perawan di Ujung Gang” sambil makan cilok.

Ini pledoi kami, untuk tubuh yang ingin bersuara. Untuk pikiran yang ingin menyimpang. Untuk bacaan yang tidak minta disetujui, hanya dimengerti.

Dan kalau semua ini dianggap cabul, maka biarlah. Lebih baik cabul dan jujur, daripada sopan tapi palsu.