Lagu Perlawanan: Analisis Semiotika dan Sosiologi dalam Buruh Tani dan Darah Juang
Lagu-lagu perjuangan memiliki makna mendalam yang dapat dianalisis melalui pendekatan semiotika dan sosiologi. Dua lagu yang sering dikaitkan dengan pergerakan sosial di Indonesia, Buruh Tani dan Darah Juang, memiliki simbolisme kuat yang merepresentasikan perjuangan kelas pekerja dan mahasiswa. Dalam analisis ini, kita akan melihat bagaimana tanda dan makna dalam kedua lagu ini membentuk narasi perlawanan terhadap ketidakadilan sosial serta bagaimana lagu-lagu ini berperan dalam gerakan mahasiswa dari masa ke masa.
Lagu Buruh Tani, yang sering disebut sebagai Pembebasan, diciptakan oleh Safi'i Kemamang pada tahun 1996. Safi'i adalah seorang aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) di Jawa Timur yang bergerak secara bawah tanah. Lagu ini ditulis untuk menyemangati mereka yang tengah berjuang melawan rezim Orde Baru dan merepresentasikan realitas sosial kelompok buruh dan tani yang mengalami ketidakadilan struktural. Lirik seperti "Buruh tani mahasiswa rakyat miskin kota" merepresentasikan kelompok-kelompok yang termarginalkan dalam sistem ekonomi. Frasa "Bersatu dan berjuang" mencerminkan ajakan kolektif untuk melawan penindasan, sementara "Membangun tatanan masyarakat tanpa penindasan" menjadi simbol cita-cita masyarakat yang lebih adil dan demokratis. Kata "penindasan" dalam lagu ini menyoroti eksploitasi yang dialami kaum buruh dan petani, menggarisbawahi pentingnya kesadaran kelas dalam perjuangan sosial.
Sementara itu, Darah Juang diciptakan pada tahun 1991 oleh sekelompok mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM), dengan melodi oleh Johnsony Tobing (John Tobing) dan lirik oleh Dadang Juliantara. Lagu ini lahir dalam konteks perlawanan mahasiswa terhadap rezim otoriter yang mengekang kebebasan akademik dan politik. Darah Juang sering dinyanyikan dalam aksi mahasiswa, mencerminkan semangat perlawanan kaum intelektual muda terhadap ketidakadilan. Lirik seperti "Kami sang pembangun pagi" menunjukkan peran mahasiswa sebagai agen perubahan, sedangkan "Dengan muatan semangat suci" mengisyaratkan perjuangan berbasis idealisme dan kebenaran. Lagu ini menggunakan diksi yang kuat untuk membangkitkan semangat juang. "Darah" dalam judulnya bukan sekadar darah secara harfiah, melainkan simbol dari pengorbanan dan perjuangan, sementara "juang" mempertegas keberlanjutan gerakan melawan ketidakadilan.
Dari perspektif sosiologi, lagu-lagu ini mencerminkan dinamika gerakan mahasiswa yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Pada era Orde Baru, gerakan mahasiswa memiliki karakter yang lebih terorganisir dan berbasis pada ideologi perlawanan terhadap otoritarianisme serta ketidakadilan struktural. Lagu-lagu perjuangan seperti Buruh Tani dan Darah Juang menjadi simbol solidaritas yang memperkuat semangat kolektif dalam menghadapi represi negara. Namun, ada kritik terhadap penggunaan lagu-lagu ini, yang kadang dianggap hanya menjadi ritual simbolik tanpa disertai strategi perlawanan yang konkret.
Kini, gerakan mahasiswa masih memainkan peran penting, tetapi tantangan yang dihadapi berbeda. Di era digital, media sosial menjadi alat utama mobilisasi, menggantikan peran lagu-lagu perjuangan yang dulunya sering dinyanyikan dalam aksi massa. Isu-isu yang diperjuangkan lebih beragam, mencakup hak asasi manusia, lingkungan, dan transparansi pemerintahan. Namun, terdapat pergeseran dalam pola perjuangan, di mana gerakan mahasiswa saat ini sering kali terfragmentasi dan kehilangan kesinambungan dengan perjuangan kelas pekerja sebagaimana tergambar dalam Buruh Tani dan Darah Juang. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan pendekatan dalam gerakan sosial modern yang lebih berbasis pada advokasi dibandingkan dengan mobilisasi massa yang bersifat konfrontatif.
Analisis semiotika terhadap Buruh Tani dan Darah Juang menunjukkan bahwa kedua lagu ini tidak hanya sekadar alat ekspresi, tetapi juga media perlawanan yang sarat akan makna simbolis. Namun, efektivitasnya dalam membangun kesadaran kolektif saat ini patut dipertanyakan mengingat perubahan dalam lanskap sosial-politik dan metode perjuangan mahasiswa. Dari perspektif sosiologis, lagu-lagu ini tetap menjadi bagian dari identitas gerakan mahasiswa yang terus bertransformasi. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji ulang bagaimana lagu-lagu perjuangan dapat tetap relevan dalam konteks gerakan sosial kontemporer agar tidak hanya menjadi sekadar artefak sejarah, melainkan juga alat perubahan yang nyata.