Menyulam Kebebasan: Ramadan, Perempuan, dan Perjuangan Membebaskan Diri dalam Perspektif Teologi Pembebasan
Ramadan merupakan periode yang sarat dengan makna spiritual, refleksi diri, dan solidaritas sosial. Dalam tradisi Islam, puasa selama Ramadan bukan sekadar praktik ibadah, melainkan juga sebuah proses pengendalian diri dan perenungan mendalam tentang hubungan individu dengan Tuhan dan sesama. Namun, dalam perspektif teologi pembebasan, Ramadan dapat dibaca sebagai momen krusial untuk merefleksikan dan menantang struktur sosial yang menciptakan ketidakadilan dan penindasan, terutama terhadap kelompok yang termarjinalisasi, termasuk perempuan.
Teologi pembebasan, yang awalnya berkembang di Amerika Latin melalui tokoh seperti Gustavo Gutiérrez, menitikberatkan pada tanggung jawab etis dan spiritual untuk membela kaum tertindas. Dalam konteks Islam, teologi pembebasan memperoleh bentuknya melalui pemikiran tokoh-tokoh seperti Asghar Ali Engineer yang menekankan keadilan sosial sebagai inti dari ajaran Islam. Dengan menggunakan lensa ini, Ramadan tidak hanya menjadi ruang introspeksi personal, tetapi juga ajakan untuk mengubah kondisi sosial yang tidak adil. Ketika seseorang berpuasa, ia mengalami keterbatasan fisik yang mengingatkan pada realitas kemiskinan dan kelaparan yang dihadapi oleh banyak orang di dunia.
Hari Perempuan Internasional, yang diperingati setiap 8 Maret, memiliki akar sejarah yang kuat dalam perjuangan hak-hak buruh perempuan di awal abad ke-20. Gerakan ini berkembang menjadi simbol global bagi perlawanan terhadap diskriminasi berbasis gender dan perjuangan untuk kesetaraan sosial, ekonomi, dan politik. Dalam perspektif teologi pembebasan, Hari Perempuan Internasional memunculkan pertanyaan mendasar: sejauh mana struktur sosial dan religius telah memperkuat ketidakadilan terhadap perempuan, dan bagaimana teologi dapat menjadi alat pembebasan untuk melawan ketidakadilan tersebut?
Ketika Ramadan dan Hari Perempuan Internasional dipertemukan dalam kerangka teologi pembebasan, muncul dialektika antara iman dan aksi sosial. Iman, dalam pemahaman ini, bukanlah pengalaman yang terisolasi dari dunia nyata, melainkan panggilan aktif untuk memerangi ketidakadilan. Puasa di bulan Ramadan dapat dilihat sebagai bentuk solidaritas aktif terhadap mereka yang mengalami kekurangan dan penindasan struktural. Dalam hal ini, ibadah tidak hanya bertujuan untuk pengembangan spiritual individu, tetapi juga untuk menciptakan kesadaran kritis terhadap kondisi sosial di sekitar.
Perempuan yang menjalankan Ramadan sering menghadapi beban ganda. Selain menjalankan kewajiban spiritual, mereka juga dihadapkan pada tanggung jawab domestik yang diperberat oleh ekspektasi sosial tentang kesalehan dan pengabdian. Perspektif teologi pembebasan mengkritik bagaimana peran-peran gender ini sering kali dilegitimasi oleh interpretasi agama yang patriarkal. Dengan mengusung pendekatan ini, Ramadan bisa menjadi ruang resistensi di mana perempuan menegaskan suara mereka dan menuntut perubahan dalam hubungan kekuasaan yang timpang.
Menurut Amina Wadud, seorang sarjana Islam feminis, kesetaraan gender merupakan prinsip mendasar dalam Islam yang harus diwujudkan dalam semua aspek kehidupan. Dalam konteks Ramadan, ini berarti mempertanyakan norma-norma yang membebani perempuan secara tidak proporsional dan mengadvokasi interpretasi agama yang membebaskan dan memberdayakan. Dengan demikian, Ramadan dan Hari Perempuan Internasional dapat menjadi momentum untuk mengintegrasikan iman dengan perjuangan sosial, menciptakan ruang di mana perempuan dapat menjadi subjek penuh dalam kehidupan spiritual dan sosial.
Selain itu, teologi pembebasan mendorong adanya tanggung jawab kolektif untuk mengatasi struktur sosial yang menindas. Ketika berbuka puasa menjadi simbol pemenuhan kebutuhan fisik, ia juga harus menjadi pengingat akan hak setiap individu atas kehidupan yang bermartabat. Dengan menempatkan pengalaman perempuan di pusat narasi keagamaan, teologi pembebasan membuka peluang bagi reinterpretasi teks-teks suci yang lebih inklusif dan membebaskan.
Dalam kesimpulannya, Ramadan dan Hari Perempuan Internasional, jika dibaca melalui lensa teologi pembebasan, menawarkan paradigma di mana iman dan aksi sosial saling melengkapi. Ramadan tidak lagi hanya menjadi ritual pribadi, tetapi menjadi ajang untuk mendorong perubahan sosial yang adil dan inklusif. Pertanyaannya kemudian bukan hanya apakah Ramadan membawa pembebasan spiritual, tetapi bagaimana Ramadan dapat menjadi kekuatan transformasi sosial yang membebaskan semua orang, terutama mereka yang paling sering diabaikan dan ditindas.