Sintesa Punk dan Tauhid Sosial: Jalan Ketiga dalam Perlawanan
Dalam teori Jalan Ketiga yang dikembangkan oleh Anthony Giddens, perjuangan sosial tidak lagi hanya berkutat pada dikotomi klasik antara kapitalisme pasar bebas dan sosialisme ortodoks. Sebaliknya, ia menekankan perlunya pendekatan yang lebih fleksibel yang mampu mengakomodasi dinamika globalisasi, modernitas refleksif, dan peran individu dalam membentuk struktur sosial yang lebih adil. Jika dikontekstualisasikan dalam sintesa antara punk dan tauhid sosial, gagasan ini dapat menjadi strategi perlawanan yang tidak terjebak dalam anarkisme destruktif ala punk klasik maupun dogmatisme religius yang sering kali membatasi ruang gerak dalam pendekatan sosial-politiknya.
Punk muncul sebagai reaksi terhadap keterasingan yang dihasilkan oleh sistem kapitalisme lanjut dan birokratisasi politik modern. Gerakan ini berkembang pesat pada akhir 1970-an di Inggris dan Amerika Serikat sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni ekonomi neoliberal yang menyebabkan meningkatnya ketimpangan sosial dan keterpinggiran kelas pekerja. Band seperti Sex Pistols, The Clash, dan Dead Kennedys menyuarakan kemuakan terhadap sistem yang korup, sementara subkultur Do It Yourself (DIY) menjadi bentuk penolakan terhadap dominasi pasar dalam produksi budaya. Namun, punk sering kali terjebak dalam nihilisme, di mana perlawanan yang dilakukan cenderung tidak memiliki arah strategis yang jelas. Slogan seperti “No Future” dalam lagu God Save the Queen mencerminkan pesimisme yang mendalam terhadap kemungkinan perubahan sosial yang lebih baik. Bahkan ketika punk berevolusi dalam bentuk yang lebih sadar seperti straight edge—yang menolak alkohol, narkoba, dan perilaku destruktif—perlawanan ini masih bersifat individual dan tidak memiliki kerangka sistemik yang lebih besar.
Di sisi lain, tauhid sosial yang diperkenalkan oleh Hamka dan dipengaruhi oleh pemikir Islam seperti Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, menekankan bahwa iman bukan hanya pengalaman spiritual, tetapi juga harus diwujudkan dalam realitas sosial. Tauhid bukan sekadar hubungan vertikal dengan Tuhan, tetapi juga memiliki dimensi horizontal dalam membangun keadilan di masyarakat. Konsep ini berusaha melawan kapitalisme eksploitatif, otoritarianisme negara, dan kolonialisme yang membelenggu umat Islam, tetapi dengan pendekatan yang lebih sistematis daripada sekadar perlawanan spontan. Jika punk menolak sistem yang eksploitatif, tauhid sosial menawarkan kerangka etis agar perjuangan melawan ketidakadilan tidak hanya menjadi bentuk perlawanan tanpa arah, tetapi memiliki tujuan transformatif. Punk mungkin menolak kapitalisme pasar bebas, tetapi juga skeptis terhadap peran negara dalam menegakkan keadilan sosial. Tauhid sosial, di sisi lain, menawarkan jalan tengah dengan menekankan bahwa pemerintahan yang adil adalah yang tunduk pada nilai-nilai tauhid, bukan sekadar kepentingan ekonomi atau politik semata.
Dalam teori Jalan Ketiga, Giddens menekankan bahwa masyarakat modern membutuhkan pendekatan yang lebih hibrid dalam membangun sistem sosial yang lebih adil. Tidak cukup hanya dengan negasi terhadap sistem yang ada, tetapi juga dibutuhkan rekonstruksi nilai dan institusi yang lebih reflektif terhadap kondisi sosial baru. Sintesa antara punk dan tauhid sosial dapat menjadi contoh Jalan Ketiga dalam perlawanan, di mana dua gerakan yang tampaknya bertolak belakang justru dapat bersinergi dalam membangun strategi resistensi yang lebih komprehensif.
Punk menekankan aksi langsung dan penolakan terhadap sistem melalui gerakan akar rumput, seperti Food Not Bombs, yang membagikan makanan secara kolektif sebagai bentuk protes terhadap pemborosan pangan di bawah kapitalisme. Tauhid sosial memberikan kerangka moral dan sistem nilai agar aksi ini tidak hanya menjadi gerakan temporer, tetapi terintegrasi dalam struktur sosial dan ekonomi berbasis keadilan. Jika punk cenderung bersandar pada anarkisme sosial dengan menolak otoritas negara dan kapitalisme, tauhid sosial mengajarkan bahwa otoritas yang sah adalah yang tunduk pada keadilan. Dengan demikian, sintesa ini memungkinkan eksperimen dalam bentuk ekonomi kolektif, seperti koperasi berbasis syariah yang mengadopsi prinsip DIY punk.
Dalam teori Jalan Ketiga, Giddens juga menekankan bahwa perubahan sosial di era modern harus berbasis pada "dialogue of democracy", di mana individu tidak hanya menjadi objek sistem, tetapi aktor yang berperan aktif dalam mengubahnya. Punk, dengan ethos DIY dan komunitarianismenya, dapat bersinergi dengan tauhid sosial yang menekankan pentingnya ijtihad sosial dalam merespons tantangan zaman. Jika punk sering kali berakhir dalam pesimisme—menganggap bahwa masa depan telah hancur oleh sistem—tauhid sosial mengajarkan bahwa masa depan adalah sesuatu yang harus diperjuangkan dengan kesadaran dan keberanian. Jika punk mengajarkan keberanian untuk menantang status quo, tauhid sosial memberikan arah dan strategi agar perlawanan memiliki makna dan tujuan.
Dalam dunia yang semakin dikendalikan oleh kapitalisme global, ketidakadilan struktural, dan kontrol negara yang represif, sintesa antara punk dan tauhid sosial dapat menjadi bentuk hibrid perlawanan yang lebih kontekstual. Ini bukan tentang menjadikan punk lebih Islami atau tauhid sosial lebih punk, tetapi tentang menciptakan Jalan Ketiga, di mana resistensi terhadap ketidakadilan tidak hanya bersifat destruktif, tetapi juga konstruktif dan berkelanjutan. Sebagaimana Giddens berargumen bahwa perubahan sosial modern harus beradaptasi dengan realitas baru tanpa kehilangan prinsip keadilan, sintesa ini dapat menjadi eksperimen baru dalam membayangkan masa depan yang lebih adil, lebih bebas, dan lebih bermakna.