04 Juni 2025



“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.”
Pramoedya Ananta Toer

Baru saja kita merayakan 1 Juni, hari kelahiran Pancasila, yang di antaranya menjunjung tinggi “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Tapi coba tengok sejenak, apakah keadilan itu benar-benar hadir dalam sistem pendidikan kita?

Di sinilah “efisiensi” masuk sebagai kata sakti yang bikin semua masalah seolah-olah selesai dengan hitungan biaya per anak. Negara dengan bangga mengumumkan: “20 persen anggaran untuk pendidikan sudah kami alokasikan!” Namun di balik angka itu, ‘efisiensi’ justru jadi tameng ampuh untuk menolak anak-anak yang dianggap “tidak produktif” agar keluar dari sistem.

Efisiensi dalam pendidikan kita bukan soal memberi layanan terbaik bagi seluruh anak bangsa, melainkan soal memangkas biaya sesedikit mungkin. Anak-anak miskin yang putus sekolah bukan tragedi sosial, melainkan ‘efisiensi alamiah’. Guru honorer yang bekerja dengan gaji pas-pasan? Itu bagian dari efisiensi birokrasi biaya pegawai ditekan, kualitas? Ah, nomor kesekian.

Efisiensi, dalam bahasa resmi, terdengar mulia: menggunakan sumber daya sebaik mungkin. Tapi kenyataannya, ‘sebaik mungkin’ itu diterjemahkan jadi ‘sehemat mungkin’. Hemat anggaran berarti mengurangi perhatian dan layanan pada mereka yang paling membutuhkan.

Inilah kenyataan pahitnya: anak-anak yang paling rentan, dari keluarga termiskin, justru paling cepat dikeluarkan dari sistem. Karena dianggap “membebani efisiensi”. Padahal pendidikan bukanlah produk yang bisa dipangkas seenaknya agar angka-angka di spreadsheet terlihat bagus.

Pendidikan bukan pabrik yang bisa dioptimalkan dengan formula kalkulus ekonomi. Pendidikan adalah hak, dan hak itu harus dipenuhi, bukan ditawar-tawar dengan kalkulasi biaya. Mengklaim efisiensi tapi membiarkan ketimpangan makin melebar, sama saja dengan menggadaikan masa depan anak bangsa demi angka statistik sesaat.

Ki Hadjar Dewantara sudah menegaskan sejak lama bahwa pendidikan harus memanusiakan manusia, bukan mengurangi manusia menjadi biaya. Namun, di zaman ini, efisiensi jadi dalih untuk menggusur nilai kemanusiaan itu. Efisiensi membuat anak-anak putus sekolah dianggap “wajar” dan “tidak bisa dihindari”. Efisiensi membuat guru-guru kehilangan semangat karena dihitung hanya dari jam mengajar, bukan dari dedikasi dan kreativitas.

Kita boleh bangga dengan jargon digitalisasi dan inovasi kurikulum, tapi kalau ujung-ujungnya anak-anak yang tak mampu akses internet harus menyerah, efisiensi itu cuma kata kosong. Efisiensi yang benar harusnya berarti mengalokasikan sumber daya untuk menghapus kesenjangan, bukan memperkuatnya.

Efisiensi tanpa keadilan sosial adalah bunuh diri pendidikan. Dan itu berbahaya untuk masa depan bangsa yang selalu kita cita-citakan di atas kertas Pancasila.

Aluta Contuinita
Gelar Aulia, S.Sos