Retak yang Dirawat, Luka yang Dirapal: Sunni dan Syiah, Saatnya Menyatu di Doa yang Sama

Hubungan antara Syiah dan Sunni adalah kisah panjang yang lebih banyak disimpan dalam luka daripada disuarakan dalam pengertian. Ia bukan hanya soal perbedaan teologis, melainkan juga soal memori, kekuasaan, dan narasi yang diperebutkan. Sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW, umat Islam menghadapi pertanyaan paling mendasar namun paling pelik: siapa yang berhak memimpin? Pertanyaan itu tidak hanya menciptakan dua mazhab besar Sunni dan Syiah tetapi juga membelah sejarah ke dalam dua arus yang kadang saling berseberangan, kadang bersilang diam-diam.
Bagi Sunni, kepemimpinan bersifat syuro, konsultatif, dan tidak ditentukan secara nasab. Bagi Syiah, terutama Syiah Imamiyah, kepemimpinan adalah hak Ahlul Bait, keluarga Nabi, yang dipercayai memiliki otoritas spiritual dan politik langsung dari Tuhan. Perbedaan itu, yang awalnya bersifat politis dan historis, lambat laun berubah menjadi teologis, bahkan eksistensial. Masing-masing membangun teologi, hukum, dan sejarahnya sendiri. Maka tidak heran, ketika sejarah ditulis oleh penguasa, suara yang berbeda akan terdengar seperti ancaman, bukan kekayaan.
Namun realitasnya tidak sesederhana itu. Dunia Islam tidak terbelah dua. Ia penuh nuansa. Ada Sunni yang mencintai Ahlul Bait, ada Syiah yang menghormati sahabat Nabi. Ada perjumpaan lintas mazhab di ruang-ruang tasawuf, di pasar-pasar Baghdad, di madrasah Andalusia, bahkan dalam puisi-puisi Jalaluddin Rumi yang tidak bertanya siapa mazhabmu, tapi seberapa dalam cintamu.
Masalahnya, dunia modern telah menciptakan algoritma yang mempersempit pemahaman. Kita lebih sering dicekoki narasi benturan, bukan pertemuan. Syiah dan Sunni digambarkan seolah dua blok ideologis yang saling mengintai, padahal kebanyakan umat di bawah tidak mengerti secara rinci apa itu imamah atau apa itu ijtihad. Yang mereka tahu hanyalah: saling mencurigai itu aman.
Sayangnya, sebagian negara bahkan menginstitusionalisasi kecurigaan itu ke dalam kurikulum, khutbah, dan media. Konflik yang seharusnya historis dibekukan menjadi identitas. Yang minoritas menjadi kambing hitam, yang mayoritas merasa benar sendiri. Maka yang sebenarnya kita butuhkan bukan rekonsiliasi yang artifisial, melainkan pendidikan lintas sejarah yang jujur dan empatik. Kita perlu kembali membaca sejarah bukan untuk mencari pembenaran, tapi untuk memahami luka.
Persoalan Sunni-Syiah tidak akan selesai dengan debat di televisi atau fatwa-fatwa keras. Ia membutuhkan keberanian untuk berdialog, bukan sekadar toleransi basa-basi. Ia menuntut kita untuk melampaui label, dan menggali substansi iman: keadilan, cinta, ilmu, dan kemanusiaan. Karena di akhir hari, bukan mazhab yang akan kita bawa ke hadapan Tuhan, melainkan amal dan kejujuran hati.
Maka ketika Satu Muharam datang, ketika kita mengenang hijrah sebagai momen awal membangun masyarakat Islam, barangkali kita juga bisa berhijrah dari prasangka menuju pengertian, dari narasi retak menuju harapan yang merekat. Karena sejarah tak bisa diulang, tapi masa depan masih bisa kita karang bersama.
Gelar Aulia
Editor Cum Pimred Vodkazine
Divisi Pers dan Bacaan Himpunan Mahasiswa Jurusan Sosiologi
Pernah Jadi Anggota Pusat Perjuangan Mahasiswa utuk Pembebasan Nasional (Pembebasan)