Cangkir Kosong di Sudut Meja
Asik juga,
pagi ini aku terbangun lebih awal,
menyeduh dua cangkir teh seperti biasa
satu untukku,
satu lagi... entah untuk siapa.
Mungkin untuk bayanganmu
yang masih suka duduk di kursi kayu dekat jendela,
tersenyum kecil,
seolah mau bicara sesuatu,
lalu urung.
Kau pernah tersenyum,
di sudut pagi yang diam,
di antara dua cangkir teh yang tak sempat habis.
Senyum itu sederhana saja,
seperti senja yang pulang ke barat
tanpa tergesa.
Sejak itu aku tahu,
aku tak akan bisa lagi menapaki bukit ini
tanpa mengingat caramu tertawa —
pelan, sabar,
seperti hujan kecil yang enggan berhenti.
Aku berjalan sendirian kini,
melewati jalan berbatu
dengan sepatu yang pernah kita beli bersama,
tanpa tawar-menawar,
hanya suka yang singkat
dan hangat.
Setiap malam
aku meraba udara,
mencari sisa jemarimu
yang biasa membenahi rambutku
atau sekadar menyentuh pipiku,
membisikkan:
"Jangan lelah berjalan."
Tapi yang tersisa cuma ruang kosong,
dan senyum yang membekas
di dinding yang tak lagi bergema.
Seperti kenangan,
tak hilang,
hanya mengendap di celah pintu
yang jarang kubuka lagi.
Aku ingin waktu berhenti,
bukan agar kau kembali,
tapi supaya aku bisa lebih lama
menyimpan senyum itu
di dalam kantong jaketku —
yang robek di bagian dalam,
tempat rahasia segala kehilangan disembunyikan.
Menarilah hariku,
menarilah sendiriku,
di atas batu-batu kenangan
yang tak pernah benar-benar membatu.
Sebab kau tetap indah di malamku,
walau hanya sebagai bayang
yang tak lagi mau bangun.
Dan aku tetap berjalan,
bersama senyum kecil yang kau tinggalkan,
yang setiap pagi menyapaku,
pelan,
seperti bisik:
"Aku ada, meski tak di sini."