16 Juni 2025


Syiah lahir bukan dari ruang kosong, bukan dari sekadar perbedaan tafsir teologis, tapi dari benturan keras antara kekuasaan dan kebenaran. Di dalam tubuh sejarah Islam yang penuh intrik dan perebutan legitimasi, Syiah muncul sebagai anak haram kekuasaan yang memilih untuk tidak tunduk. Sejak awal, ia adalah minoritas yang ditakdirkan untuk terus melawan. Bukan karena senang menderita, tapi karena tahu bahwa membela yang benar kadang berarti berjalan sendirian.

Ali bin Abi Thalib tak hanya dipandang sebagai khalifah sah yang dikhianati, tapi juga sebagai simbol dari kepemimpinan yang menolak korupsi kekuasaan. Dan Husain, cucu Nabi, tidak sekadar syahid yang mati di Karbala, tapi menjadi wajah perlawanan itu sendiri. Ia tahu ia akan kalah. Tapi ia memilih kalah yang bermartabat daripada menang yang berkhianat. Dari sinilah Syiah mendapat ruhnya. Ia bukan sekadar mazhab, tapi semacam gerakan sejarah. Semacam memoar abadi tentang betapa politik itu kejam, dan betapa iman bisa bertahan bahkan di tengah kebengisan sejarah.

Dalam perspektif sosiologi, Syiah menunjukkan bagaimana komunitas yang ditekan secara struktural bisa membangun ingatan kolektif melalui ritual dan simbol. Setiap tahun, jutaan orang berkumpul untuk mengenang Asyura bukan hanya untuk menangis. Di balik ratapan itu ada pedagogi. Ada pendidikan moral, ada afirmasi kelas tertindas, ada pemeliharaan kesadaran. Ini adalah bentuk praksis sosial: mengingat bukan hanya demi sejarah, tapi demi masa depan.

Ali Syariati membawa napas baru dalam pembacaan ini. Ia menolak menjadikan Syiah sekadar agama kesedihan. Baginya, mengenang Karbala tanpa memahami mengapa Husain bangkit adalah pengkhianatan intelektual. Ia membongkar ritual yang telah membeku, mengubah duka menjadi kekuatan sosial. Karbala bukan panggung air mata, tapi panggung perjuangan. Syariati menyerukan Islam merah, bukan Islam hitam. Islam pembebasan, bukan Islam penjinakan.

Di Iran, gagasan Syariati tak sepenuhnya ditelan mentah. Ia ditarik ke medan revolusi. Dari gagasan menjadi slogan. Dari pemikiran menjadi peluru. Tapi bahkan di luar Iran, Syiah menyimpan daya ledak ideologis yang tak bisa diredam. Ia menjadi sarana kritik terhadap otoritas yang dibungkus agama. Ia mengajarkan bahwa menjadi minoritas bukan berarti lemah, tapi bisa menjadi subversif. Dan dalam dunia Islam yang semakin dikendalikan oleh rezim-rezim oportunis yang menjual agama untuk kekuasaan, narasi Syiah menjadi alat untuk mengungkit kembali pertanyaan-pertanyaan yang tak nyaman.

Mengapa yang berkuasa selalu menang? Mengapa kebenaran begitu sering disingkirkan atas nama stabilitas? Mengapa sejarah ditulis oleh mereka yang membunuh?

Dalam konteks kontemporer, Syiah menjadi cermin tajam untuk melihat bagaimana ketimpangan sosial, marginalisasi politik, dan represi kultural dibungkus dengan doktrin. Ia tidak selalu berhasil menjadi jawaban. Tapi ia adalah pertanyaan yang terus mengusik. Ia memaksa kita mempertanyakan keaslian kepercayaan yang kita pegang. Apakah kita sungguh mengikuti ajaran Nabi, atau hanya sedang menyesuaikan diri dengan sistem?

Karbala belum selesai. Yazid selalu menemukan bentuk barunya. Dan Husain, meski dibunuh berulang-ulang, selalu hidup dalam bentuk-bentuk yang tak bisa dipadamkan. Selama masih ada yang berani menolak tunduk, selama masih ada yang memilih kejujuran meski kalah, Syiah tetap bernyawa. Tidak di balik dinding-dinding teologi, tapi di jalanan, di perlawanan, di suara-suara kecil yang berkata: tidak.

Dan itu lebih dari cukup untuk membuat dunia yang membusuk ini sedikit lebih bergolak.