15 September 2024




Penerapan Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) di Indonesia diharapkan menjadi langkah maju dalam memodernisasi pendidikan, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas evaluasi dan pemerataan pendidikan di seluruh negeri. Namun, seiring pelaksanaannya, ANBK justru menyingkap tantangan besar: kesenjangan digital yang memperdalam ketidaksetaraan sosial. Dalam kerangka teori anomi Émile Durkheim, transformasi ini memicu situasi disorientasi sosial, terutama ketika masyarakat belum sepenuhnya siap menghadapi perubahan besar ini akibat ketidakseimbangan akses teknologi.

Durkheim menggambarkan anomi sebagai kondisi di mana norma sosial dan struktur masyarakat gagal mengatur perilaku individu, terutama dalam menghadapi perubahan yang terlalu cepat. Dalam konteks ANBK, digitalisasi pendidikan diterapkan secara luas di seluruh Indonesia, meskipun infrastruktur teknologi di berbagai daerah belum merata. Hal ini menciptakan ketidakpastian dan keterasingan, terutama di kalangan siswa, guru, proktor, dan teknisi di wilayah-wilayah yang tidak memiliki akses teknologi yang memadai.

ANBK dilaksanakan melalui dua mode utama: online dan semi daring. Mode online, yang menuntut siswa untuk terhubung secara real-time ke sistem pusat, lebih cocok untuk sekolah-sekolah dengan infrastruktur yang baik, seperti akses internet stabil dan perangkat komputer memadai. Namun, bagi sekolah-sekolah di daerah terpencil yang menghadapi keterbatasan infrastruktur, mode ini hampir tidak bisa diterapkan. Sebagai gantinya, mode semi daring diterapkan, di mana data asesmen diunduh dan diunggah kemudian. Meski dirancang untuk menjembatani kesenjangan tersebut, mode semi daring tetap menunjukkan betapa tajamnya perbedaan akses terhadap teknologi antara daerah perkotaan dan pedesaan. Keterbatasan ini memunculkan rasa ketidakadilan di kalangan siswa yang merasa tertinggal dari rekan-rekannya yang memiliki akses lebih baik.

Dalam perspektif Durkheim, kesenjangan ini menciptakan anomi, di mana norma baru yang mengandalkan teknologi dalam pendidikan tidak dapat diakses secara merata. Siswa yang tinggal di wilayah dengan keterbatasan teknologi merasa terputus dari standar baru yang diterapkan oleh ANBK. Hal ini berpotensi menimbulkan kebingungan sosial dan psikologis, di mana mereka merasa bahwa kemampuan intelektual mereka tidak dapat bersaing bukan karena kurangnya potensi, melainkan karena ketidakmampuan untuk mengakses teknologi yang diperlukan.

Selain siswa, guru juga mengalami pergeseran peran dalam sistem pendidikan berbasis teknologi ini. Guru yang dulu berperan sebagai penggerak utama dalam evaluasi kemampuan siswa, kini semakin tergantikan oleh sistem penilaian yang berbasis algoritma dan mesin. Hal ini dapat menimbulkan anomi di kalangan guru, di mana mereka merasa kehilangan kendali atas peran mereka sebagai pengajar dan evaluator. Durkheim berpendapat bahwa ketika individu merasa teralienasi dari peran sosial mereka, mereka dapat mengalami disorientasi dan ketidakpuasan, yang dapat merusak kohesi sosial dalam sistem pendidikan.

Proktor dan teknisi juga memainkan peran penting dalam pelaksanaan ANBK, namun sering kali mereka menghadapi tantangan besar, terutama di sekolah-sekolah dengan infrastruktur terbatas. Proktor, yang bertugas menangani aspek teknis aplikasi selama pelaksanaan ANBK, harus memastikan bahwa semua perangkat lunak berjalan dengan baik selama ujian. Tugas ini menjadi semakin sulit ketika menghadapi jaringan internet yang tidak stabil atau perangkat yang kurang memadai.Teknisi, yang bertanggung jawab mengelola sarana komputer dan jaringan, sering kali terbebani dengan minimnya alat dan dukungan. Di daerah terpencil, teknisi harus menghadapi masalah-masalah teknis yang kompleks tanpa pelatihan dan sumber daya yang memadai. Kedua peran ini menjadi semakin krusial dalam keberhasilan ANBK, tetapi mereka sering kali merasa terbebani oleh ekspektasi yang tinggi dan kurangnya dukungan.

Ketidakseimbangan ini semakin memperjelas adanya patologi sosial yang muncul dari pelaksanaan ANBK. Dalam teori Durkheim, patologi sosial terjadi ketika norma dan harapan baru, seperti digitalisasi pendidikan, tidak diimbangi dengan dukungan infrastruktur dan pelatihan yang memadai. Kesenjangan digital yang ada memperkuat jurang sosial antara mereka yang memiliki akses terhadap teknologi dan mereka yang tertinggal. Teknologi yang seharusnya menjadi solusi dalam pemerataan pendidikan justru mempertegas ketidaksetaraan yang ada.

Namun, situasi ini bukan tanpa solusi. Untuk mengatasi patologi sosial yang muncul akibat kesenjangan digital dalam ANBK, diperlukan komitmen yang lebih besar dari pemerintah dan pemangku kepentingan terkait. Penyediaan infrastruktur teknologi yang merata harus menjadi prioritas, terutama di daerah-daerah terpencil. Pelatihan bagi guru, proktor, dan teknisi juga harus ditingkatkan agar mereka dapat menghadapi tantangan teknologi yang terus berkembang dengan lebih baik. Dengan dukungan yang memadai, peran proktor dan teknisi dapat lebih dioptimalkan untuk memastikan kelancaran pelaksanaan ANBK di semua wilayah, tanpa meninggalkan siswa dan sekolah yang berada di daerah tertinggal.

Secara keseluruhan, ANBK menawarkan peluang besar untuk memodernisasi sistem pendidikan di Indonesia. Namun, tanpa dukungan infrastruktur yang tepat dan peningkatan sumber daya manusia, ANBK justru dapat memperburuk kesenjangan sosial. Dalam perspektif Durkheim, masyarakat harus mampu menemukan keseimbangan antara perubahan teknologi dan adaptasi sosial untuk menghindari terjadinya anomi. Jika ketimpangan ini segera diatasi, ANBK berpotensi menjadi instrumen yang memperkuat kesetaraan dan kohesi sosial dalam pendidikan di Indonesia, alih-alih memperlebar jurang ketidakadilan di era digital.