Ibu dan Kenangan di Ujung September
Akhir September, dunia selalu terasa absurd.
Dipaksa menonton film G30S, seperti ritual tanpa makna,
Tubuh Ceria selepas mengaji , Mesti Getir mentap layar
Menyaksikan kekerasan yang tak pernah kumengerti tujuannya.
Sebelum Mojako ditayangkan di TPI, iklan komunis memenuhi layar,
Wajah-wajah dingin, ancaman yang terus berulang,
Aku terjebak dalam ketakutan yang terasa asing, tapi nyata.
Lalu datanglah Oktober, bulan yang mengubah segalanya.
Pertengahan 2014, ibu menyerah pada kanker serviks,
Seolah tubuhnya adalah panggung tragedi, perlahan memudar,
Aku duduk di sisinya, menyaksikan kepergiannya yang sunyi,
Sadar bahwa hidup hanya seutas benang yang mudah putus.
Tak ada lagi pelukan atau kata-kata, hanya keheningan,
Dan malam itu, ketika ibu menghilang, keberadaan terasa hampa.
Tak ada tujuan, tak ada makna dalam kehilangan—
Hidup berjalan seperti lelucon tanpa punchline,
Dan aku? Hanya pion dalam permainan yang tak kupahami.
Sejak saat itu, aku selalu memutar jalan,
Enggan melewati Hasan Sadikin, tempat di mana segalanya berakhir,
Aku menghindari jejak-jejak penderitaan,
Namun tak bisa melarikan diri dari absurditas hidup ini,
Yang terus menuntutku untuk bertahan meski semuanya terasa sia-sia.
Di setiap Oktober, luka lama terbuka kembali,
Dan aku menyadari, tak ada yang benar-benar sembuh.
AULIA 092624