Peran Nahdlatul Ulama dan Khitah 1926 dalam Dinamika Sosial, Politik, dan Keagamaan di Indonesia
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia yang memiliki pengaruh signifikan dalam sejarah sosial, politik, dan keagamaan di negara ini. Didirikan pada tahun 1926 oleh Hasyim Asy'ari bersama sejumlah ulama tradisionalis, NU lahir sebagai respons terhadap berbagai dinamika yang dihadapi umat Islam di Indonesia pada awal abad ke-20. Pada masa itu, umat Islam berada di bawah tekanan kolonialisme Belanda yang memperkenalkan budaya dan sistem kepercayaan yang berbeda, serta menghadapi perdebatan internal antara kaum tradisionalis dan modernis mengenai bagaimana ajaran Islam seharusnya dipraktikkan.
Di tengah-tengah konteks inilah NU merumuskan "Khitah 1926", sebuah prinsip dasar yang menjadi panduan utama bagi organisasi ini. Khitah 1926 merupakan sebuah manifestasi dari komitmen NU untuk memelihara ajaran Islam tradisional yang berakar pada mazhab-mazhab Sunni, khususnya Mazhab Syafi'i. Dalam perspektif sosiologis, Khitah 1926 berfungsi sebagai landasan bagi NU untuk menjawab tantangan sosial dan keagamaan tanpa kehilangan identitas keagamaannya.
Khitah 1926 menekankan pada pentingnya menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas, antara lokalitas dan nasionalisme, serta antara peran keagamaan dan tanggung jawab sosial. Sebagai organisasi yang berakar kuat pada tradisi keagamaan, NU melalui Khitah 1926 berusaha memelihara tradisi keislaman lokal yang sesuai dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Gus Dur, "Islam datang bukan untuk menyingkirkan kebudayaan lokal, tetapi untuk membentuk kebudayaan baru yang lebih baik tanpa menghilangkan akar-akar lokal." Kutipan ini menegaskan prinsip NU dalam menggabungkan ajaran Islam dengan nilai-nilai budaya lokal, sebuah pendekatan yang memungkinkan Islam untuk berkembang di Indonesia dengan tetap mempertahankan identitasnya.
Khitah 1926 juga memberikan kerangka normatif yang menegaskan bahwa NU adalah organisasi keagamaan yang tidak terikat pada politik praktis. Meskipun demikian, dalam perkembangannya, NU sering kali terlibat dalam isu-isu politik, terutama yang berkaitan dengan kepentingan umat Islam dan keadilan sosial. Di sini, Khitah 1926 berperan sebagai pengingat agar NU tidak terseret dalam praktik politik partisan yang bisa merusak integritas organisasi. Namun, hal ini tidak berarti NU menghindar dari politik sama sekali. Sebaliknya, NU menggunakan posisinya untuk mempengaruhi kebijakan publik dan memberikan advokasi bagi kepentingan umat Islam dengan cara yang sejalan dengan prinsip-prinsip Islam dan etika sosial yang diusungnya.
Dalam perjalanan sejarah Indonesia, NU memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas sosial dan mendorong inklusivitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. NU telah menjadi mediator dalam berbagai konflik sosial dan politik, serta berkontribusi pada penguatan demokrasi di Indonesia. Sebagai organisasi yang berpengaruh, NU sering kali menjadi jembatan antara pemerintah dan masyarakat, serta antara kelompok-kelompok sosial yang berbeda.
Misalnya, dalam era reformasi, NU aktif dalam mendorong proses demokratisasi di Indonesia dan menjadi salah satu pilar dalam upaya membangun masyarakat yang lebih adil dan inklusif. NU juga berperan dalam menjaga pluralisme di Indonesia, dengan menekankan pentingnya toleransi antarumat beragama dan kerjasama antar golongan. Pandangan ini sejalan dengan semangat Khitah 1926, yang menekankan pentingnya menjaga persatuan dan keadilan sosial di tengah keberagaman masyarakat Indonesia.
Khitah 1926 juga menegaskan komitmen NU untuk terus memajukan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Melalui berbagai lembaga pendidikan, dari pesantren hingga universitas, NU telah mendidik generasi muda dengan nilai-nilai keislaman yang moderat dan inklusif, serta membekali mereka dengan keterampilan yang diperlukan untuk menghadapi tantangan zaman. Selain itu, NU juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial, termasuk pemberdayaan ekonomi umat dan bantuan kemanusiaan, yang semuanya berakar pada prinsip keadilan sosial yang terkandung dalam Khitah 1926.
Secara keseluruhan, Khitah 1926 tidak hanya berfungsi sebagai pedoman keagamaan bagi NU, tetapi juga sebagai kerangka sosiologis yang membentuk sikap dan tindakan organisasi ini dalam menghadapi dinamika sosial, politik, dan keagamaan di Indonesia. Dengan berpegang pada Khitah 1926, NU telah berhasil menjaga relevansi dan eksistensinya sebagai organisasi yang memiliki pengaruh signifikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Di tengah perubahan sosial yang terus berlangsung, Khitah 1926 tetap menjadi landasan bagi NU untuk menjalankan perannya sebagai penjaga tradisi Islam dan agen perubahan sosial yang berkeadilan.
Kutipan Gus Dur tentang peran Islam dalam membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan akar-akar lokal menggambarkan esensi dari Khitah 1926, yang memadukan antara pemeliharaan tradisi dan adaptasi terhadap perubahan. Ini adalah landasan yang memungkinkan NU untuk terus berkontribusi pada kehidupan sosial, politik, dan keagamaan di Indonesia, sambil tetap setia pada prinsip-prinsip keislaman yang diwarisi dari pendiri-pendirinya.