12 Oktober 2025



Di sebuah tikungan jalan antara modernitas yang terus melaju dan tradisi yang enggan tunduk, ada dua kampung yang memilih berjalan pelan: Kampung Kuta di Ciamis dan Kampung Mahmud di pinggiran Bandung. Keduanya tidak sekadar “kampung adat” dalam pengertian turistik; mereka adalah ruang-ruang sunyi yang menjadi saksi panjang tarik-ulur sejarah, spiritualitas, dan modernitas yang kerap datang seperti badai.

Kampung Kuta tersembunyi di lembah perbukitan, bagai halaman kitab tua yang belum selesai dibaca. Tidak ada rumah beratap seng, tidak ada kendaraan bermotor yang berseliweran. Warganya hidup dalam kesederhanaan yang bukan romantisasi, melainkan bentuk disiplin kultural yang diwariskan turun-temurun. Di sini, modernitas tak ditolak mentah-mentah, tapi disaring dengan laku hidup kolektif yang nyaris seperti “konstitusi tak tertulis”. Setiap sudut kampung seperti menyimpan perjanjian diam-diam antara manusia dan alam: sebuah etika ekologis yang tidak dikhotbahkan, tetapi dijalani.

Sementara itu, Kampung Mahmud berdiri di tepian Sungai Citarum, menyimpan kisah tentang dakwah dan penyebaran Islam di tanah Pasundan. Modernitas menyapa lebih dekat ke Mahmud dibanding Kuta. Namun, di tengah gempuran urbanisasi Bandung Raya, Mahmud tetap teguh menjaga kesakralan tata ruang dan ritus keagamaannya. Rumah-rumah tradisional berdiri berdampingan dengan bangunan semi permanen, menciptakan lanskap sosial yang unik: setengah menatap masa lalu, setengah menatap masa depan. Mahmud tak menutup diri dari dunia luar, tapi ia menegaskan batas: modernitas boleh masuk, tapi dengan tata krama.


Di titik inilah gagasan Soedjatmoko terasa relevan. Intelektual publik ini pernah mengingatkan bahwa modernitas di Indonesia bukanlah soal menyalin Barat secara mentah, melainkan proses pencarian bentuk rasionalitas yang berpijak pada kebudayaan sendiri. Modernitas, katanya, seharusnya menjadi usaha sadar untuk menumbuhkan nilai-nilai modern dalam konteks masyarakat kita, bukan sekadar mengejar teknologi dan pembangunan fisik. Jika nasihat itu kita dengar dengan saksama, maka keberadaan Kuta dan Mahmud bukanlah anomali melainkan cermin kecil dari kemungkinan modernitas Indonesia yang lebih berakar.

Kuta menolak penggunaan material industri dalam bangunannya bukan karena ketinggalan zaman, tetapi karena mereka memahami betul ritme alam dan spiritualitas lokal sebagai fondasi kehidupan. Mahmud pun bukan sekadar kampung religius; ia menunjukkan bagaimana agama dapat menjadi kerangka moral dalam menghadapi tekanan modernisasi urban. Dalam arus besar pembangunan yang seringkali menyingkirkan ruang-ruang kultural, dua kampung ini memilih bernegosiasi dengan zaman, bukan menyerah padanya.

Soedjatmoko juga menyoroti bahwa modernitas sering datang ke Indonesia dalam bentuk proyek negara dari atas ke bawah, seragam, sering mengabaikan keanekaragaman lokal. Tapi di Kuta dan Mahmud, modernitas tidak “datang”, melainkan dinegosiasikan perlahan-lahan oleh komunitas itu sendiri. Inilah bentuk “rasionalitas lokal” yang tak kalah modern, meski tampil sunyi. Mereka memilih mengatur ruang hidup dan ritus sosialnya sesuai logika sendiri, bukan logika pasar atau kota.

Pada akhirnya, modernitas bukan sekadar deru mesin dan kilatan layar gawai. Ia juga bisa berupa keputusan sunyi untuk tetap menanam padi dengan cara lama, untuk tetap menata rumah kayu tanpa paku besi, untuk tetap menjaga tata ruang kampung sebagaimana diwariskan leluhur. Modernitas, seperti diingatkan Soedjatmoko, adalah soal kesadaran dan pilihan, bukan sekadar soal kecanggihan.

Kampung Kuta dan Kampung Mahmud mengajarkan kepada kita bahwa zaman boleh berubah, tetapi manusia punya hak untuk menentukan bagaimana ia akan hidup di dalamnya. Mereka bukan museum hidup, bukan pula objek wisata eksotis. Mereka adalah penafsir zaman menunjukkan bahwa ada modernitas yang bisa lahir dari kesunyian, dari doa, dari kesetiaan pada tanah.

Dan mungkin, justru di situlah letak modernitas Indonesia yang sesungguhnya: bukan sekadar ikut arus global, tapi berani menentang dengan cara sendiri, dalam jejak sunyi yang menolak deru zaman.

 GELAR AULIA.Sos