12 September 2024



Di balik label "kota pendidikan" yang disematkan kepada Jatinangor, ada realitas yang jauh lebih suram, yaitu kehancuran ekologis yang semakin parah dan ketidakpedulian terhadap dampak jangka panjang yang dihasilkan. Di kawasan ini, sederet universitas terkemuka berjejer, dengan ribuan mahasiswa dan staf akademik datang dan pergi setiap hari. Ironisnya, meskipun kampus-kampus ini dipenuhi oleh para intelektual yang seharusnya peduli pada lingkungan, pembangunan fisik di Jatinangor tampaknya lebih diprioritaskan daripada kelestarian ekologis. Hasilnya adalah krisis lingkungan di Sumedang yang terus memburuk, dan banjir yang rutin menghantui daerah hilir seperti Rancaekek dan Sayang. Namun, yang lebih mengherankan adalah, seolah-olah tidak ada yang merasa bertanggung jawab.

Sumedang, khususnya Jatinangor, dulunya adalah wilayah yang didominasi oleh hutan dan lahan pertanian. Kini, berkat pembangunan besar-besaran yang mengabaikan prinsip-prinsip ekologi, daerah ini semakin dipenuhi oleh gedung-gedung tinggi, apartemen mahasiswa, pusat perbelanjaan, dan perumahan. Tanpa rencana tata ruang yang memperhitungkan risiko ekologis, daerah-daerah resapan air yang dulunya melindungi kawasan dari banjir kini berubah menjadi hamparan beton yang mempercepat aliran air hujan ke wilayah yang lebih rendah, seperti Rancaekek dan Sayang. Dengan kata lain, setiap tetes hujan yang jatuh di Jatinangor sekarang membawa dampak yang lebih besar pada hilir, memperparah banjir tahunan yang selalu melumpuhkan aktivitas masyarakat.

Banjir di Rancaekek adalah bukti nyata dari apa yang terjadi ketika pembangunan dibiarkan tanpa perhitungan lingkungan yang matang. Setiap tahun, air menggenangi jalan, menghambat transportasi, merendam rumah, menghentikan aktivitas ekonomi, dan mengancam kesehatan masyarakat. Penyebab utama banjir ini adalah perubahan drastis pada tata guna lahan di kawasan hulu, termasuk Jatinangor, yang dulunya berfungsi sebagai penyerap air. Kini, ketika hujan datang, air hanya meluncur dengan deras tanpa hambatan ke daerah yang lebih rendah, menyebabkan banjir di Rancaekek dan Sayang. Apakah ini harga yang layak dibayar demi sebuah "kota pendidikan"? Apakah pencapaian akademik layak dirayakan ketika masyarakat di sekitar kampus harus menderita akibat banjir yang semakin parah?

Kampus-kampus besar di Jatinangor, yang seharusnya menjadi pusat inovasi dan solusi, malah tampaknya bersikap apatis terhadap krisis yang terjadi di sekitarnya. Padahal, dengan sumber daya yang mereka miliki, universitas-universitas ini bisa saja menjadi garda terdepan dalam upaya mitigasi bencana. Mereka bisa memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengembangkan sistem drainase yang lebih baik, merancang ruang hijau yang mampu menyerap air hujan, atau bahkan terlibat langsung dalam program rehabilitasi lingkungan di kawasan Sumedang. Namun, apa yang terjadi di lapangan adalah sebaliknya. Alih-alih menjadi bagian dari solusi, mereka malah berkontribusi pada masalah. Setiap pembangunan baru yang muncul, setiap gedung baru yang berdiri, seolah menjadi simbol ketidakpedulian institusi ini terhadap dampak jangka panjang dari aktivitas mereka.

Satu contoh nyata dari ketidakpedulian ini adalah banjir yang terjadi di Sayang, Jatinangor. Terletak tak jauh dari pusat pendidikan, Sayang kerap dilanda banjir saat musim hujan. Area ini, yang dulunya dipenuhi dengan sawah dan lahan hijau, kini berubah menjadi kawasan padat penduduk dengan saluran drainase yang buruk. Setiap kali hujan deras, air dengan cepat menggenangi jalanan, memutus akses masyarakat, dan membuat kawasan ini nyaris tidak bisa diakses. Kampus-kampus yang berdekatan seakan acuh tak acuh terhadap kondisi ini, meskipun masalah tersebut berada tepat di depan pintu mereka. Bukankah seharusnya lembaga pendidikan menjadi contoh dalam keberlanjutan lingkungan? Ternyata tidak.

Lebih sarkastiknya lagi, sepertinya perhatian lebih diberikan kepada bagaimana membangun lebih banyak apartemen untuk menampung mahasiswa daripada memperbaiki sistem drainase yang sudah tua dan tidak memadai. Mungkin, dalam benak para pengambil keputusan, beton dan aspal adalah solusi terbaik untuk semua masalah. Jadi, ketika banjir datang, masyarakat di sekitar Jatinangor harus menerima kenyataan bahwa mereka akan terjebak air sementara mahasiswa bisa tetap nyaman di apartemen mereka yang baru dibangun. Ini adalah ironi yang menyakitkan, ketika institusi yang seharusnya memimpin perubahan malah memilih untuk diam dan membiarkan masalah semakin memburuk.

Krisis ekologis di Sumedang yang berujung pada banjir di Rancaekek dan Sayang adalah contoh nyata dari apa yang terjadi ketika pembangunan dijalankan tanpa tanggung jawab. Kampus-kampus di Jatinangor, dengan segala sumber daya dan pengaruhnya, seharusnya bisa menjadi pelopor dalam menyelesaikan masalah ini. Namun, alih-alih mengambil peran tersebut, mereka lebih memilih untuk mengabaikan krisis yang sedang terjadi di depan mata mereka. Sebagai "kota pendidikan", Jatinangor mungkin berkembang pesat, tetapi jika itu harus dibayar dengan kehancuran ekologis dan penderitaan masyarakat sekitarnya, maka kita harus bertanya: apakah ini harga yang pantas?