06 September 2024



Dalam konteks sosiologi, subkultur merupakan bentuk ekspresi kelompok yang berbeda dari norma dominan, sering kali terkait dengan identitas kolektif dan resistensi terhadap struktur sosial yang ada. Merek sepatu seperti Converse, Vans, dan Doc Martens, yang pernah menjadi simbol perlawanan dalam subkultur punk dan skinhead, kini telah mengalami komodifikasi oleh kapitalisme. Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara-negara Barat, tetapi juga memengaruhi konteks sosial yang lebih luas, termasuk di Indonesia. Di sisi lain, realitas pendidikan di Indonesia menghadapi tantangan serupa, di mana sistem kapitalisme dan komodifikasi berpotensi mengikis makna asli dari tujuan pendidikan itu sendiri.

Seperti yang terjadi pada simbol-simbol subkultur punk dan skinhead, pendidikan di Indonesia pun menghadapi tantangan komodifikasi di tengah dominasi kapitalisme. Subkultur punk, yang dulu dikenal sebagai perlawanan terhadap kapitalisme, kini telah diambil alih oleh arus utama dengan produk-produk seperti Converse, Vans, dan Doc Martens yang dulunya mengandung makna perlawanan, kini dijual sebagai produk mode. Proses ini mereduksi nilai simbolis dan perlawanan subkultural, mengubahnya menjadi sekadar barang konsumsi.


Paralel dengan fenomena tersebut, pendidikan di Indonesia kerap kali direduksi menjadi komoditas dalam konteks kapitalisme. Alih-alih menekankan pada pengembangan kritis dan kreatif peserta didik, sistem pendidikan sering kali lebih berfokus pada pencapaian akademis yang terukur dalam bentuk angka, ranking, atau sertifikat. Pendidikan yang idealnya menjadi ruang untuk membentuk karakter dan kesadaran sosial kerap kali diarahkan oleh pasar yang menentukan nilai dari output lulusan berdasarkan kemampuan mereka untuk beradaptasi dengan kebutuhan ekonomi, bukan atas dasar pencapaian intelektual atau moral.


Pierre Bourdieu menyebut fenomena ini sebagai bentuk "reproduksi sosial", di mana pendidikan menjadi alat bagi kapitalisme untuk melestarikan struktur sosial yang ada. Pendidikan, yang seharusnya mempromosikan mobilitas sosial dan kesetaraan, malah menjadi sarana untuk mempertahankan ketidaksetaraan kelas, serupa dengan cara subkultur punk dan skinhead kehilangan daya kritik mereka saat simbol-simbol perlawanan tersebut dikomodifikasi.


Punk di Indonesia memiliki sejarah panjang sebagai gerakan yang menantang tatanan sosial. Di berbagai kota seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta, punk bukan hanya gaya musik, tetapi juga bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan sosial, kemiskinan, dan sistem kapitalis yang memarjinalkan kelompok tertentu. Namun, seiring dengan komersialisasi simbol-simbol punk di pasar global, termasuk di Indonesia, makna asli dari gerakan tersebut sering kali tereduksi.

Hal ini dapat dilihat dari bagaimana produk-produk seperti Converse dan Vans, yang dulu menjadi simbol resistensi punk, kini telah terintegrasi dalam budaya konsumen kelas menengah. Sepatu-sepatu ini menjadi barang yang dipakai bukan lagi untuk menentang sistem, tetapi sebagai bagian dari tren mode. Proses ini mencerminkan bagaimana kapitalisme mampu menyerap elemen-elemen budaya perlawanan dan mengubahnya menjadi bagian dari budaya konsumsi yang lebih luas, menghilangkan kekuatan subversifnya.

Di Indonesia, pendidikan juga mengalami nasib yang serupa. Pendidikan formal, yang seharusnya menjadi ruang kritis bagi siswa untuk memikirkan struktur sosial dan ekonomi yang ada, sering kali terjebak dalam logika pasar. Sekolah-sekolah swasta yang mahal, kompetisi ketat untuk masuk perguruan tinggi favorit, dan tekanan untuk mendapatkan nilai tinggi telah mengalihkan fokus dari substansi pendidikan itu sendiri menjadi sekadar sarana untuk mendapatkan keuntungan material di masa depan.

Di tengah realitas ini, kapitalisme di Indonesia telah mengubah pendidikan menjadi barang komoditas, di mana akses pendidikan yang berkualitas sering kali tergantung pada kemampuan ekonomi. Pendidikan tidak lagi dipandang sebagai hak asasi setiap individu, tetapi sebagai barang yang dapat dibeli. Dalam lingkungan ini, sekolah-sekolah elit semakin berkembang, sementara sekolah-sekolah di daerah terpinggirkan mengalami kekurangan fasilitas dan sumber daya yang memadai. Fenomena ini mencerminkan apa yang dikatakan oleh sosiolog Paulo Freire, di mana pendidikan dalam sistem kapitalis sering kali "menganiaya" peserta didik dengan menjadikannya objek pasif daripada subjek yang kritis.


Proses komodifikasi ini tidak jauh berbeda dari apa yang terjadi pada subkultur punk dan skinhead. Simbol-simbol yang dahulu menjadi alat perlawanan terhadap sistem sosial yang mapan kini tereduksi menjadi barang-barang konsumsi. Converse, Vans, dan Doc Martens yang dahulu mencerminkan semangat anti-kapitalisme sekarang dijual sebagai produk fashion, sementara pendidikan yang seharusnya menjadi alat untuk perubahan sosial terjebak dalam logika kapitalisme yang menilai segalanya berdasarkan keuntungan material.


Jean Baudrillard mengingatkan bahwa komodifikasi mengubah makna asli dari objek sosial: “Objek yang awalnya subversif diambil alih oleh sistem dan diubah menjadi komoditas, menghapus potensi perlawanan yang semula ada di dalamnya.” Kutipan ini sangat relevan untuk menggambarkan bagaimana sepatu-sepatu yang dahulu dipakai sebagai simbol perlawanan kini kehilangan makna ideologisnya ketika dipasarkan oleh perusahaan-perusahaan besar. Hal serupa terjadi pada sistem pendidikan di Indonesia, di mana potensi pendidikan sebagai alat untuk mengubah struktur sosial semakin melemah di tengah komodifikasi yang terjadi.


Dalam pendidikan, komodifikasi ini berpotensi mengikis arti dari "pendidikan kritis," di mana siswa seharusnya didorong untuk mempertanyakan ketidakadilan sosial dan ekonomi. Namun, dalam banyak kasus, pendidikan lebih diarahkan untuk mencetak lulusan yang siap bekerja di pasar tenaga kerja, bukan individu yang kritis terhadap struktur sosial yang ada. Ini menciptakan generasi yang terjebak dalam logika kapitalisme tanpa memiliki kesempatan untuk memahami atau menantang sistem yang mereka jalani.


Melawan Komodifikasi di Subkultur dan Pendidikan


Baik dalam subkultur punk dan skinhead maupun dalam sistem pendidikan di Indonesia, komodifikasi kapitalisme terus mengikis makna perlawanan yang melekat pada keduanya. Sepatu seperti Converse, Vans, dan Doc Martens yang dulunya menjadi simbol perjuangan melawan kapitalisme kini menjadi bagian dari budaya konsumerisme yang luas. Begitu juga dengan pendidikan, yang seharusnya berperan sebagai alat emansipasi sosial, kini telah menjadi produk komersial yang dinilai berdasarkan kemampuannya menghasilkan keuntungan ekonomi.


Kritik terhadap kapitalisme ini menjadi penting, terutama dalam konteks pendidikan di Indonesia. Jika pendidikan terus dikomodifikasi, maka potensinya sebagai alat untuk mengatasi ketidakadilan sosial akan semakin tereduksi. Dalam menghadapi kapitalisme, baik melalui pendidikan maupun simbol-simbol budaya, diperlukan upaya untuk mempertahankan makna asli dan daya kritik dari setiap elemen yang ada, agar tidak sepenuhnya terserap oleh sistem yang justru berusaha dilawan.