dialektika sunyi
Di bawah Manglayang yang berkabut lembut,
Kami berkumpul, bertukar cerita dalam kehangatan,
Di bangku-bangku kayu yang telah menyimpan banyak kenangan,
Angin membelai pelan, membawa nostalgia masa lalu,
Sementara revolusi menyelinap di antara tawa dan diskusi panjang.
Mazhab Manisi, seperti teman lama,
Menemani kita dalam percakapan yang seolah tak pernah usai,
Dialektika hidup dan cita-cita menyatu dalam setiap cangkir kopi,
Kita berbicara tentang dunia yang ingin kita ubah,
Tentang impian-impian yang belum sampai, namun tak pernah padam.
Di kelas, ada khotbah eksistensialis yang terdengar jauh,
Namun di sini, di bawah langit yang luas,
Kami saling menguatkan dengan obrolan sederhana,
Jiwa kami tak terombang-ambing, hanya merenda tenang,
Seperti api kecil yang terus menyala, dijaga oleh persahabatan.
Revolusi yang dulu tertulis di papan tulis,
Kini bukan lagi sekadar kata yang memudar,
Ia hidup dalam hati kami, dalam diskusi malam yang hangat,
Bukan dalam teriakan besar, tapi dalam percakapan pelan,
Dalam saling mendukung di tengah kenyataan yang tak selalu ramah.
Kapital mungkin menertawakan kita dari kejauhan,
Namun di sini, di lingkaran persahabatan ini,
Harapan tetap mengalir seperti sungai yang tenang,
Mengisi setiap celah dengan ketulusan dan mimpi yang kita bagi bersama.
Dan seperti biasa, jika tesa berhenti di antitesa,
Masih ada kopi sebagai sintesa,
Hangat di tangan, hangat di hati,
Setiap tegukan adalah langkah kecil menuju perlawanan,
Di antara canda dan cerita, revolusi berbisik halus,
Bahwa persahabatan ini adalah nyala api yang tak akan padam,
Di bawah Manglayang, kita akan terus bermimpi dan berjuang bersama.