Pendidikan untuk Semua: Catatan Sosiologis atas Pemerataan SMA/SMK dan Realitas Domisili
Di negeri ini, di mana langit masih biru tapi keadilan kadang kabur, pendidikan tetap menjadi mimpi yang belum seluruhnya terwujud. Negara telah menggeser sistem zonasi menjadi seleksi berdasarkan domisili. Katanya, ini demi mendekatkan sekolah kepada anak-anak. Tapi bagaimana bila sekolahnya memang tidak pernah ada di dekat mereka?
Mari kita buka peta Kabupaten Bandung. Di sana, di ujung-ujung dusun yang tak terjamah jaringan 4G, masih ada desa yang belum punya sekolah negeri. Di sanalah Lintang hidup kembali. Ia tidak berada di Belitung, tapi di Rancabali, di Cileunyi, di Cimenyan. Ia bukan tokoh fiksi lagi ia nyata, berdiri di depan rumah dengan seragam yang masih dijahit ulang tiap tahun karena orang tuanya tak sanggup membeli yang baru.
Sistem domisili memberi ilusi keadilan, seperti pelangi yang indah dari jauh tapi menghilang ketika didekati. Anak-anak yang tinggal jauh dari pusat pendidikan dianggap “tidak berhak” karena titik koordinat rumah mereka tidak masuk dalam jangkauan sistem. Padahal, apakah keadilan bisa diukur dari jarak tempuh? Apakah masa depan hanya ditentukan oleh letak rumah di peta?
Dan di balik semua itu, ada mereka yang terus bekerja walau tak pernah masuk dalam narasi besar: para guru dan operator sekolah.
Guru-guru di pelosok tak hanya mengajar. Mereka merangkap jadi orang tua, motivator, kadang pemadam kebakaran mental. Mereka berdiri di kelas-kelas reyot dengan semangat yang lebih kokoh dari tembok sekolah mereka. Mereka tak viral. Mereka tak trending. Tapi merekalah pelangi sejati yang tetap hadir meski hujan belum berhenti.
Sementara itu, di ruang kecil yang kadang menyatu dengan gudang atau koperasi sekolah, duduklah para operator. Mereka tak punya jam pelajaran, tak punya murid. Tapi tangan merekalah yang mencatat data Lintang-Lintang itu. Mereka menginput NISN, menyesuaikan dapodik, mengejar deadline tanpa dihargai sebagai pendidik sejati. Mereka sering dianggap pelengkap. Padahal, tanpa mereka, sistem tak akan berjalan. Tanpa mereka, anak-anak takkan tercatat di sistem. Tanpa mereka, negeri ini pincang.
Keadilan sosial bukan sekadar memberi peluang. Ia adalah kehadiran yang konkret. Ia berarti memastikan bahwa tak ada satu pun kecamatan yang dibiarkan tanpa SMA atau SMK negeri. Ia berarti menyetarakan, bukan hanya dengan angka, tapi juga dengan cinta dan perhatian.
Sosiologi mengajarkan kita bahwa institusi bukan sekadar bangunan. Ia hidup dalam relasi. Dalam peluh guru, dalam lembur operator, dalam perjuangan orang tua yang menabung dari hasil jualan cilok agar anaknya bisa beli sepatu baru.
Dan kita, para penyusun kebijakan, para akademisi, para pengamat jika diam, maka ikut bersalah. Karena keheningan dalam ketidakadilan adalah bentuk pengkhianatan yang paling sopan.
Suatu hari nanti, kita berharap tak ada lagi Lintang yang harus berhenti sekolah karena jarak. Tak ada lagi guru yang harus mengajar sambil menambal plafon. Tak ada lagi operator yang bekerja tanpa tunjangan, hanya demi menjaga agar data pendidikan Indonesia tidak kacau.
Karena pelangi bukan hanya untuk yang tinggal dekat sekolah. Pelangi harus muncul juga di langit yang jauh, yang tak punya menara BTS, yang tak tahu cara mendaftar daring, tapi yang selalu percaya bahwa pendidikan bisa mengubah nasib.
Kita tidak butuh sistem baru. Kita butuh hati yang lama yang pernah berjanji bahwa anak Indonesia, siapa pun dia, di mana pun dia tinggal, harus sekolah dan harus bisa bermimpi.