Zonasi dan Harapan Pemerataan: Sebuah Catatan Sosial
Kebijakan zonasi dalam dunia pendidikan hadir dengan semangat yang patut dihargai: pemerataan akses dan kesempatan bagi seluruh anak bangsa untuk mendapatkan pendidikan yang layak, tanpa diskriminasi atas dasar nilai akademik maupun latar belakang sosial. Namun dalam pelaksanaannya, kebijakan ini berhadapan dengan kenyataan sosial yang jauh lebih kompleks daripada apa yang bisa ditangkap oleh sistem spasial digital.
Salah satu tantangan mendasar dalam implementasi zonasi adalah penggunaan peta digital, terutama layanan pemetaan global seperti Google Maps, sebagai rujukan utama dalam menentukan jarak dan wilayah layanan sekolah. Meskipun teknologi ini menawarkan kemudahan dan kecepatan dalam pemetaan, ia tidak selalu mampu menjangkau keragaman geografis dan sosial yang membentuk kehidupan sehari-hari di berbagai daerah di Indonesia.
Di kota-kota besar, mungkin sistem ini berjalan dengan lebih baik karena infrastruktur dan data yang tersedia cukup memadai. Namun di wilayah pinggiran atau pedesaan, realitasnya sering kali tidak sejalan. Jalan yang tidak selalu bisa dilalui kendaraan, akses yang bergantung pada cuaca, atau bahkan lokasi tempat tinggal yang tidak tercatat secara formal dalam sistem digital, menjadi tantangan tersendiri. Dalam hal ini, anak-anak yang secara spasial tampak “dekat” dengan sekolah dalam hitungan kilometer, pada kenyataannya harus menempuh perjalanan yang tidak ringan—baik secara fisik maupun sosial.
Lebih jauh, zonasi akan sangat sulit mencapai tujuan pemerataan jika tidak dibarengi dengan pemerataan kualitas pendidikan itu sendiri. Sekolah-sekolah di wilayah berbeda sering kali memiliki fasilitas, tenaga pendidik, dan dukungan yang jauh dari setara. Maka ketika seorang anak diarahkan untuk bersekolah di tempat terdekat, sesungguhnya ia diarahkan untuk menerima kualitas pendidikan yang tidak selalu setara dengan teman-temannya di wilayah lain. Dalam kondisi ini, zonasi dapat berubah dari alat pemerataan menjadi alat pembatas.
Di sinilah peran ilmu sosial menjadi sangat penting. Para sarjana sosiologi, geografi sosial, antropologi, dan perencana wilayah memiliki kapasitas untuk membaca peta bukan hanya sebagai representasi geografis, melainkan sebagai refleksi atas struktur sosial. Mereka dapat membantu merancang sistem pemetaan yang lebih kontekstual, yang tidak hanya menghitung jarak tempuh, tetapi juga mempertimbangkan kondisi akses, infrastruktur sosial, hingga karakteristik komunitas lokal.
Sudah saatnya pemetaan dalam dunia pendidikan tidak hanya bergantung pada sistem digital global yang tidak selalu memahami kondisi lokal. Kita memiliki sumber daya manusia yang mumpuni, yang mampu membangun sistem pemetaan partisipatif berbasis komunitas. Peta yang dilahirkan dari bawah, dari warga, dari guru, dari kepala sekolah, dari siswa itu sendiri—peta yang mencerminkan kenyataan di lapangan, bukan sekadar presisi digital.
Zonasi adalah kebijakan yang baik jika dilandasi dengan semangat keadilan dan dilaksanakan dengan perhatian mendalam terhadap ketimpangan yang nyata. Untuk itu, dibutuhkan keberanian, bukan hanya dalam hal teknologi, tetapi juga dalam membuka ruang partisipasi dan dialog lintas disiplin—terutama dengan ilmu-ilmu sosial yang selama ini kerap diabaikan dalam penyusunan kebijakan teknokratis.
Semoga di masa depan, peta yang kita pakai untuk menentukan masa depan anak-anak bangsa bukan hanya sekadar peta jalan, tetapi juga peta keadilan.