Merdeka 100 Persen: Refleksi Tan Malaka, Kesenjangan Pendidikan, dan Perayaan Kemerdekaan 2024
Tan Malaka, tokoh revolusioner yang tak pernah lelah memperjuangkan kemerdekaan sejati, mendefinisikan kemerdekaan bukan hanya sebagai kebebasan dari penjajahan fisik, tetapi juga sebagai kebebasan dari segala bentuk penindasan dan ketidakadilan. Dalam semangat "Merdeka 100 Persen", Tan Malaka menuntut kemerdekaan yang utuh—sosial, ekonomi, politik, dan budaya—bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, dalam realitas Indonesia saat ini, salah satu hambatan terbesar untuk mencapai kemerdekaan sejati adalah kesenjangan pendidikan.
Tan Malaka: Revolusioner dan Guru
Tan Malaka, yang lahir dengan nama asli Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka pada 2 Juni 1897 di Nagari Pandam Gadang, Sumatera Barat, adalah seorang tokoh yang sangat berpengaruh dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Namun, yang tidak banyak diketahui adalah bahwa sebelum ia menjadi seorang revolusioner, Tan Malaka pernah mengabdikan dirinya sebagai seorang guru. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Rijkskweekschool di Belanda, ia kembali ke Indonesia dan mengajar di sebuah sekolah di Semarang. Pengalaman sebagai guru ini tidak hanya membentuk pandangan politiknya, tetapi juga memperkuat keyakinannya bahwa pendidikan adalah alat utama untuk memerdekakan rakyat.
Dalam salah satu tulisannya, Tan Malaka menegaskan bahwa pendidikan adalah "senjata yang paling ampuh untuk melawan kebodohan dan penindasan" (Tan Malaka, *Madilog*, 1943). Baginya, seorang guru memiliki tanggung jawab besar untuk menanamkan kesadaran kritis kepada murid-muridnya, sehingga mereka bisa tumbuh menjadi individu yang merdeka dalam berpikir dan bertindak. Pengalaman Tan Malaka sebagai guru di Hindia Belanda memberinya perspektif langsung tentang ketidakadilan sistem pendidikan kolonial, yang hanya memberikan akses pendidikan kepada segelintir orang.
Kesenjangan Pendidikan di Indonesia
Kesenjangan pendidikan di Indonesia merupakan masalah yang telah berlangsung lama dan berdampak luas. Meskipun telah ada upaya peningkatan akses pendidikan di seluruh wilayah, kualitas pendidikan yang diterima oleh anak-anak di berbagai daerah di Indonesia sangat bervariasi. Anak-anak di daerah perkotaan cenderung memiliki akses yang lebih baik terhadap fasilitas pendidikan, guru yang berkualitas, dan bahan ajar yang memadai, sementara anak-anak di daerah pedesaan atau terpencil sering kali harus menghadapi kondisi yang jauh dari ideal.
Kesenjangan ini mencerminkan realitas bahwa meskipun secara formal Indonesia telah merdeka, kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya masih belum dinikmati oleh semua rakyat. Tan Malaka pasti akan memandang kesenjangan pendidikan ini sebagai bentuk lain dari penindasan—penindasan terhadap hak dasar setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Pendidikan, dalam pandangannya, adalah kunci untuk membuka pintu kemerdekaan yang sesungguhnya.
Kesenjangan pendidikan juga memperparah kesenjangan ekonomi. Anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan yang memadai sering kali terjebak dalam lingkaran kemiskinan, tidak memiliki keterampilan yang diperlukan untuk bersaing di pasar kerja, dan akhirnya terpinggirkan dalam masyarakat. Sebaliknya, mereka yang berasal dari keluarga mampu dengan akses ke pendidikan berkualitas memiliki peluang lebih besar untuk meraih kesuksesan, memperkuat struktur sosial yang tidak adil.
Pada tahun 2024, Indonesia merayakan kemerdekaannya yang ke-79. Perayaan ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, diisi dengan upacara, parade, dan berbagai kegiatan yang mengobarkan semangat nasionalisme. Namun, di balik gegap gempita perayaan ini, pertanyaan mendasar yang harus kita tanyakan adalah: sejauh mana kita telah benar-benar mencapai "Merdeka 100 Persen" sebagaimana yang diimpikan oleh Tan Malaka?
Di tengah perayaan yang megah, kenyataan pahit tentang kesenjangan pendidikan masih menyelimuti sebagian besar anak bangsa. Di beberapa daerah, anak-anak masih belajar di bawah bangunan sekolah yang nyaris roboh, dengan buku yang usang dan fasilitas yang minim. Sementara itu, di kota-kota besar, sekolah-sekolah unggulan terus menawarkan pendidikan berkualitas tinggi, tetapi hanya dapat diakses oleh mereka yang mampu secara finansial.
Tan Malaka, jika ia masih hidup, mungkin akan melihat perayaan kemerdekaan ini dengan skeptis. Bagi Tan Malaka, perayaan kemerdekaan bukan hanya soal mengibarkan bendera dan menggelar parade, tetapi tentang memastikan bahwa setiap anak Indonesia mendapatkan kesempatan yang sama untuk meraih pendidikan berkualitas. Tanpa pendidikan yang merata dan berkualitas, kemerdekaan yang dirayakan hanyalah simbol kosong yang belum terwujud dalam kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia.
Maka, dalam refleksi pada perayaan kemerdekaan 2024 ini, kita harus mengambil tanggung jawab bersama untuk mewujudkan cita-cita "Merdeka 100 Persen" yang digaungkan oleh Tan Malaka. Pemerintah, masyarakat, dan semua pihak terkait harus bekerja lebih keras untuk mengatasi kesenjangan pendidikan yang ada. Upaya harus diarahkan tidak hanya pada peningkatan akses, tetapi juga pada peningkatan kualitas pendidikan di seluruh pelosok negeri.
Dengan mencermati gagasan Tan Malaka, kita diingatkan bahwa kemerdekaan sejati tidak hanya diraih melalui deklarasi politik, tetapi juga melalui perjuangan untuk memastikan setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang. Pendidikan yang merata dan berkualitas adalah pondasi untuk mencapai "Merdeka 100 Persen". Hanya dengan mengatasi kesenjangan pendidikan, Indonesia bisa benar-benar merdeka dalam pengertian yang utuh, di mana setiap warganya memiliki hak dan peluang yang sama untuk mengembangkan potensinya.
---
Daftar Pustaka
1. Malaka, Tan. *Madilog*. Yogyakarta: Narasi, 1943.
2. Malaka, Tan. *Massa Aksi*. Jakarta: Lembaga Kebudayaan Rakyat, 1926.
3. Darmaningtyas. *Pendidikan Rusak-Rusakan*. Yogyakarta: LKiS, 2004.
4. Suryadarma, Daniel, et al. "Improving Student Performance in Public Primary Schools in Indonesia: The Use of Mobile Phones for Teacher Professional Development." *Journal of Development Economics* 134 (2018): 83-97.
5. Hasan, Ahmad. *Kesenjangan Pendidikan di Indonesia: Tantangan dan Solusi*. Jakarta: Gramedia, 2016.
--- AULIA --