31 Agustus 2024



Lagu "#633" oleh band Standing Terrace dari Bandung menampilkan kekuatan simbolisme yang mendalam, menyoroti bagaimana identitas, resistensi, dan solidaritas dibangun melalui bahasa simbolik yang kaya. Dalam konteks sosiologi semiotika, lirik lagu ini bisa dilihat sebagai sistem tanda yang memuat makna lebih dalam tentang identitas kolektif dan perjuangan kelompok pendukung Persib Bandung, yaitu Bobotoh.


Dari awal, lagu ini menyebutkan "kota kembang," sebuah istilah yang umumnya digunakan untuk menggambarkan Bandung dengan citra yang lembut dan indah. Namun, di tangan Bobotoh, "kota kembang" berubah menjadi simbol pemberontakan dan kebanggaan lokal yang tak bisa diabaikan. Simbol ini memperlihatkan bahwa, di balik citra kota yang tenang, terdapat semangat perlawanan yang membara. Dengan mengatakan "we’re come from flowers city," para Bobotoh tidak hanya menyatakan asal-usul geografis mereka, tetapi juga menegaskan identitas kolektif yang penuh semangat dan kecintaan terhadap kota mereka.


Simbol kebersamaan dan solidaritas dalam lirik "we didn’t have any leader, let’s have a drink together" mencerminkan egalitarianisme yang menjadi ciri khas kelompok ini. Minum bersama adalah simbol dari persahabatan dan kesetaraan, menunjukkan bahwa kekuatan mereka terletak pada kebersamaan, bukan pada kepemimpinan tunggal. Ini adalah kritik terselubung terhadap struktur sosial yang hierarkis, di mana kekuasaan sering terpusat dan hierarki menjadi norma. Dengan menolak memiliki pemimpin tunggal, Bobotoh menyimbolkan resistensi terhadap kontrol dan dominasi, memilih untuk merayakan kesetaraan dan kebersamaan sebagai fondasi kekuatan mereka.


Resistensi terhadap ideologi fasis digambarkan secara terang-terangan dalam lirik "we all hate nazi scum, our trainers on their face." Ini adalah simbol dari perlawanan langsung terhadap kekerasan ideologis. Sepatu (trainers) menjadi tanda fisik dari perlawanan ini, sebuah simbol kekuatan dan kesediaan untuk bertindak. Dalam semiotika, tanda seperti ini menunjukkan bahwa ideologi fasis tidak hanya ditolak secara verbal, tetapi juga secara fisik dilawan. Sepatu, benda sehari-hari yang sederhana, dalam konteks ini menjadi lambang dari kekuatan dan aksi kolektif, sebuah cara untuk menyatakan bahwa mereka tidak akan tinggal diam menghadapi ketidakadilan.


Ritual sosial, seperti menyanyi dan berkumpul bersama, diabadikan dalam lirik "our friendship till we die," dan menjadi simbol yang memperkuat ikatan sosial dan identitas kelompok. Ini bukan sekadar rutinitas, tetapi bagian integral dari kehidupan sosial yang penuh makna. Semiotika melihat ini sebagai cara untuk memproduksi dan mereproduksi makna, di mana lagu dan tindakan kolektif berfungsi sebagai tanda dari identitas dan solidaritas yang lebih besar. Dengan menyanyikan lagu ini, Bobotoh tidak hanya mengekspresikan dukungan mereka terhadap Persib Bandung, tetapi juga memperkuat identitas kolektif mereka sendiri.


Konfrontasi fisik, seperti yang tergambar dalam lirik "our trainers on their face," juga menunjukkan bahwa simbolisme mereka tidak hanya terbatas pada dunia metaforis. Ini adalah peringatan yang sangat nyata bahwa Bobotoh siap bertindak, bahwa simbolisme mereka bisa berubah menjadi tindakan langsung. Tindakan ini menegaskan bahwa identitas dan kebanggaan mereka bukan hanya konsep abstrak, tetapi sesuatu yang mereka bela dengan sepenuh hati, bahkan jika itu berarti harus menghadapi konfrontasi fisik.


Secara keseluruhan, melalui lensa semiotika, lagu "#633" menampilkan bagaimana simbolisme dapat digunakan untuk mengekspresikan dan memperkuat identitas kelompok. Lagu ini tidak hanya berfungsi sebagai bentuk ekspresi artistik, tetapi juga sebagai alat komunikasi yang kuat, memperkuat solidaritas sosial dan melawan ideologi yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai kelompok. Bobotoh, melalui simbolisme mereka, menegaskan bahwa mereka lebih dari sekadar penggemar; mereka adalah komunitas yang kuat dan bersemangat, siap untuk melawan demi apa yang mereka percayai.