Kuburan Hijau Demi Beton, Kepentingan, dan Bungkamnya Kampus Jatinangor
Kabupaten Sumedang yang dahulu dikenal dengan kontur alam yang subur dan lingkungan yang relatif terjaga kini tengah menghadapi krisis ekologis akibat alih fungsi lahan yang semakin masif. Kawasan seperti Jatinangor, Cicalengka, dan Rancaekek kini menjadi saksi bisu dari kerakusan manusia yang menjadikan eksploitasi alam sebagai agenda utama. Fenomena ini bukan hanya sekadar pergeseran tata guna lahan, tetapi merupakan bentuk kejahatan ekologi yang terus-menerus diulang tanpa rasa bersalah.
Jatinangor yang dahulu hijau dan asri, kini menjelma menjadi hutan beton penuh kampus, perumahan, dan industri. Pembangunan ini dilakukan dengan semangat "pokoknya untung", tanpa sedikit pun perhitungan dampak ekologis. Hasilnya? Hilangnya daya resap air, banjir di mana-mana, dan longsor yang makin menjadi langganan. Ironisnya, kampus-kampus yang mengklaim sebagai pusat intelektual dan riset hanya menjadi penonton bisu di tengah kehancuran ekologis ini. Tak ada suara kritis, tak ada gerakan nyata. Mereka yang seharusnya berbicara justru memilih diam, seakan tunduk pada kepentingan ekonomi dan kapital.
Rancaekek lebih parah lagi. Seolah tak cukup dengan pencemaran udara dan suara dari lalu lintas yang kacau, kawasan ini juga harus menghadapi industri yang tak kenal ampun dalam mengotori Sungai Citarum. Warga di sekitar kini harus pasrah menerima nasib: air bersih makin langka, sementara air limbah mengalir deras tanpa hambatan. Dokumen AMDAL? Hanya formalitas belaka. Pengawasan lingkungan? Nyaris nihil. Regulasi dibuat hanya untuk dilanggar atau dijadikan alat tawar-menawar bagi mereka yang berkepentingan.
Cicalengka yang dulu menjadi kebanggaan agraris dengan perkebunan teh dan sawah subur, kini berubah menjadi wilayah dengan perumahan dan infrastruktur yang dibangun dengan logika "asal berdiri". Penggundulan hutan di perbukitan yang dulu menopang ekosistem kini menjadi ajang perampokan lahan yang sah-sah saja, menghasilkan tanah longsor dan banjir yang kerap merusak pemukiman dan lahan pertanian. Tanah yang dulunya menyimpan air, kini mengalirkan lumpur dan air bah setiap kali hujan turun lebih dari 10 menit. Sumber mata air alami menyusut drastis, sementara pemerintah sibuk berbicara tentang "pembangunan berkelanjutan" yang entah apa artinya dalam praktik.
Dampak dari alih fungsi lahan ini bukan lagi sekadar isu lingkungan, tapi sudah menjadi siklus bencana yang terus berulang tanpa ada tanda-tanda perbaikan. Longsor, banjir bandang, dan kekeringan ekstrem menjadi rutinitas tahunan yang semakin sulit dikendalikan. Betonisasi daerah resapan? Berjalan tanpa hambatan. Penyempitan sungai? Seolah bukan masalah. Sedimentasi tinggi? Dibiarkan saja, toh nanti tinggal cari dana proyek normalisasi yang ujung-ujungnya hanya menyelesaikan masalah untuk sementara, sebelum bencana datang lagi.
Jika ada sedikit akal sehat yang tersisa, inilah saatnya Sumedang melakukan taubat ekologis. Bukan sekadar basa-basi seminar atau kampanye hijau yang hanya indah di spanduk, tetapi kebijakan nyata yang menghentikan perusakan lingkungan. Konversi lahan hijau harus dihentikan, penghijauan harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, dan industri pencemar lingkungan harus dihukum tanpa kompromi. Pertanian berkelanjutan bukan lagi pilihan, tetapi keharusan jika Sumedang tidak ingin mati perlahan.
Jika langkah-langkah ini terus diabaikan, Sumedang tidak perlu menunggu kehancuran, karena ia sudah terjadi. Bencana yang datang bukan sekadar peringatan alam, tetapi konsekuensi dari kerakusan dan ketidakpedulian kolektif. Sampai kapan kita akan berpura-pura bahwa semua ini baik-baik saja? Saatnya Sumedang berhenti menjadi korban dan mulai menjadi pelopor dalam gerakan taubat ekologis yang sesungguhnya.
Gelar Aulia
Prodem 2008