Wacana Pemekaran Kabupaten Bandung Timur: Politik Lokal, Aspirasi Masyarakat, dan Kompleksitas Realisasi
Sejak tahun 2007, wacana pemekaran Kabupaten Bandung Timur menjadi isu yang terus mengemuka sebagai respons terhadap ketimpangan pembangunan antara wilayah barat dan timur Kabupaten Bandung. Pemekaran ini diusulkan sebagai solusi untuk memperbaiki ketimpangan pelayanan publik, mempercepat pembangunan infrastruktur, dan memberikan akses yang lebih merata kepada masyarakat. Wilayah Bandung Timur meliputi kecamatan-kecamatan strategis seperti Ciparay, Majalaya, Rancaekek, Cileunyi, dan sekitarnya. Meskipun berkontribusi besar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Bandung, wilayah ini sering kali dianggap mengalami marginalisasi dalam distribusi pembangunan.
Ketimpangan tersebut menimbulkan berbagai permasalahan sosial dan ekonomi. Masyarakat di wilayah timur menghadapi akses terbatas terhadap pelayanan publik karena pusat pemerintahan Kabupaten Bandung terletak di Soreang, yang secara geografis jauh dari kawasan timur. Kondisi ini berdampak pada lambannya penyaluran layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan administrasi publik. Selain itu, wilayah Bandung Timur yang memiliki potensi besar di sektor industri dan pertanian mengalami keterlambatan dalam pengembangan infrastruktur penunjang, menyebabkan potensi ekonomi tidak berkembang secara optimal.
Aspirasi pemekaran berakar pada kebutuhan untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan lokal. Dengan membentuk Kabupaten Bandung Timur sebagai daerah otonom baru (DOB), diharapkan terdapat efisiensi dalam birokrasi dan peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam merespons kebutuhan masyarakat. Pemekaran juga dianggap dapat membuka ruang partisipasi politik yang lebih luas bagi warga lokal, memungkinkan pengelolaan sumber daya secara mandiri, dan memperkuat identitas sosial-kultural masyarakat Bandung Timur.
Namun, hingga tahun 2025, pemekaran Kabupaten Bandung Timur belum terealisasi. Salah satu hambatan utama adalah kebijakan moratorium pembentukan DOB yang diberlakukan pemerintah pusat. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memperketat syarat pemekaran, termasuk kajian kelayakan ekonomi, kesiapan infrastruktur, dan dukungan politik di tingkat lokal dan nasional. Moratorium ini bertujuan membatasi fragmentasi administratif yang dinilai membebani anggaran negara. Selain faktor regulasi, proses pemekaran juga dihambat oleh kompleksitas birokrasi, kepentingan politik yang saling bertentangan, serta kurangnya komitmen pemerintah daerah untuk mempercepat kajian kelayakan.
Dalam dinamika politik lokal, wacana pemekaran sering kali menjadi komoditas politik yang digunakan oleh calon kepala daerah dalam kontestasi elektoral. Janji pemekaran menjadi alat mobilisasi massa, tetapi sering kali tidak mendapat tindak lanjut konkret setelah pemilihan selesai. Fenomena ini menciptakan siklus ekspektasi dan kekecewaan di kalangan masyarakat. Aspirasi pemekaran yang awalnya merupakan tuntutan berbasis kebutuhan riil masyarakat, lambat laun menjadi alat negosiasi politik yang berorientasi pada kepentingan elit lokal. Minimnya transparansi dalam proses kajian kelayakan dan ketidakjelasan sikap pemerintah pusat memperkuat persepsi bahwa wacana pemekaran hanya dijadikan retorika politik tanpa komitmen substansial.
Stagnasi pemekaran ini memiliki implikasi sosial yang signifikan. Masyarakat Bandung Timur semakin menyuarakan ketidakpuasan mereka melalui berbagai aksi protes dan advokasi di tingkat lokal dan nasional. Mereka menuntut pemerintah untuk mempercepat proses pemekaran sebagai bentuk pengakuan atas hak mereka terhadap pelayanan yang adil dan pembangunan yang merata. Selain itu, ketertinggalan pembangunan di wilayah timur mendorong arus urbanisasi menuju Bandung Raya, memperparah masalah kepadatan penduduk dan tekanan terhadap infrastruktur kota.
Dalam perspektif sosiologi politik, wacana pemekaran mencerminkan konflik struktural antara negara dan masyarakat dalam upaya redistribusi kekuasaan dan sumber daya. Tuntutan pemekaran Kabupaten Bandung Timur bukan hanya sekadar gerakan administratif, tetapi juga bentuk artikulasi politik masyarakat yang merasa hak-haknya diabaikan oleh struktur kekuasaan yang sentralistik. Aspirasi ini mencerminkan kebutuhan mendesak akan perubahan tata kelola pemerintahan yang lebih dekat, responsif, dan akuntabel terhadap kebutuhan lokal.
Masa depan pemekaran Kabupaten Bandung Timur sangat bergantung pada keberanian politik, dukungan masyarakat sipil, dan kesediaan pemerintah pusat untuk membuka kembali peluang pembentukan DOB. Tanpa adanya komitmen nyata dari semua pihak, aspirasi pemekaran ini berisiko terus berada dalam ruang wacana tanpa realisasi yang konkret. Dengan memahami pemekaran sebagai bagian dari perjuangan politik dan sosial, masyarakat Bandung Timur berupaya menegaskan hak mereka atas pemerintahan yang lebih inklusif dan berkeadilan.
Gelae Aulia, S.Sos
Alumnus Sosiologi UIN Bandung 2008