Kartini, CEO Revolusi Literasi
Bayangkan R A Kartini sebagai CEO revolusi pemikiran perempuan pada masa feodal Jawa, melangkah ke panggung tanpa presentasi PowerPoint yang rapi atau notulen rapat yang tertata, hanya dengan sebatang pena dan semangat pemberontakan intelektual yang membara. Ia menatap struktur patriarki yang terpatri di setiap kurikulum, adat istiadat, dan percakapan santai di teras rumah, lalu dengan santai memanggilnya out of date. Tanpa perlu izin dari dewan direksi budaya, Kartini menyodorkan pertanyaan sulit “Mengapa saya tidak boleh bersekolah setinggi anak laki laki” dan dalam satu kalimat menggeser key performance indicator yang menjaga perempuan tetap pasif.
Surat surat Kartini bagaikan pitch deck paling disruptif dalam sejarah emansipasi. Tiap kalimatnya mengandung threat model bagi sistem yang mengira bahwa perempuan hanya sekadar user interface yang manis. Habis gelap terbitlah terang menjadi tagline kuat yang bukan sekadar pepatah manis, melainkan mandat eksekutif bahwa pengetahuan adalah obor yang membakar bayangan kebodohan patriarki. Kartini mengubah peran perempuan dari silent stakeholder menjadi active contributor, membuktikan bahwa ide dan aspirasi perempuan adalah aset strategis, bukan liability yang harus dikesampingkan.
Dalam ruang eksistensialisme, Kartini mengajarkan bahwa esensi perempuan tidak diprogram secara otomatis lewat kode genetik atau norma tradisional, melainkan terbentuk berdasar keputusan berulang yang diambil setiap hari. Ia menegaskan bahwa memilih untuk tidak memilih tetaplah keputusan yang berdampak. Ia memaksa kita bertanya siapa yang menulis roadmap budaya, siapa yang mengatur scope dan objective, dan bagaimana kita mengukur deliverables pemberdayaan perempuan. Jika patriarki beroperasi sebagai legacy system yang stagnan, Kartini memperkenalkan agile mindset dengan iterasi sosial dan feedback loop berkelanjutan, meminta kita terus melakukan retrospective terhadap norma lama.
Perjuangan Kartini tidak berhenti bersama guliran tinta di atas surat. Ia merambat ke generasi berikutnya melalui sosok seperti Dewi Sartika yang menggarisbawahi bahwa akses pendidikan tanpa kualitas hanya akan menghasilkan formasi pasif. Ia menegur pengambil kebijakan agar investasi dalam perempuan diukur bukan dari jumlah orang yang masuk ruangan kelas, tetapi dari seberapa sering perempuan mengemukakan ide dan memimpin diskusi. Ia menantang kita untuk mengubah key result area dari laporan statistik menjadi testimoni riil tentang perubahan mindset.
Kini di era media sosial dan big data, patriarki menyusup lewat algoritma yang menyoroti konten ringan dan mengabaikan prestasi perempuan. Judul berita yang mengeksploitasi gaya hidup menjadi bait clickbait yang menjebak audiens di dalam sangkar stereotip. Di sinilah literasi kritis menjadi deliverable utama: jangan cuma scroll dan like, tetapi jalankan audit mendalam terhadap siapa yang membuat narasi, apa business model-nya, dan siapa yang diuntungkan. Jadikan hot take Anda buah analisis tajam bukan sekadar retweet tanpa komitmen.
Tugas kita bukan menghancurkan kaum pria, melainkan mendesain ulang sistem corporate governance sosial agar inklusivitas tercapai. Kita perlu membangun forum diskusi yang tak lagi top down, melainkan platform kolaboratif dengan equal participation. Kita butuh training session yang interaktif bukan seminar monoton. Kita harus memastikan perempuan mendapat speaking slot, bukan hanya sebagai panel pengisi quota. Kita bangun kanal komunikasi di mana setiap suara perempuan menjadi headline, bukan footnote.
Revolusi literasi patriarki berarti memindai ulang struktur kekuasaan dan meredefinisi istilah empowerment. Ini bukan campaign jangka pendek, melainkan strategic roadmap jangka panjang yang berprinsip continuous improvement. Gagal cepat atau fail fast justru disambut sebagai momentum belajar. Setiap kegagalan mengandung data untuk pivot strategi dan scale up upaya yang lebih efektif.
Ruang pertemuan eksistensial menanti kita setiap hari. Anda bisa memilih menjadi user pasif dalam narasi sejarah, menerima skrip yang diwariskan, atau menjadi cofounder yang menulis ulang legacy perusahaan bernama masyarakat. Saat kita menggerakkan pena di atas kertas, mengetik kata di media sosial, atau berdiri memimpin diskusi, kita sedang menciptakan KPI baru bagi kesetaraan. Dan ketika peta kekuasaan itu tergambar ulang, gelap hanya akan menjadi legenda masa lalu, sementara terang akan menjadi tatanan baru yang tak bisa ditawar.