Hardiknas dan Hari Buruh Menggugah Emansipasi Pendidikan dan Kerja di Tengah Lelucon Sosial
Setiap tanggal satu dan dua Mei, bangsa ini menggelar perayaan rutin bernama Hari Buruh dan Hari Pendidikan Nasional. Dua momen ini, yang seharusnya menjadi peringatan terhadap perjuangan sosial yang panjang dan berdarah, semakin tahun berubah menjadi ritual kosong, dipenuhi pidato formal, seminar motivasi, dan parade simbolik tanpa refleksi. Di balik semua itu, struktur ketidakadilan yang menjadi latar kelahiran kedua hari ini tetap berdiri kokoh.
Pendidikan dan kerja, dua institusi yang diagung-agungkan sebagai motor kemajuan, telah kehilangan makna aslinya. Pendidikan, yang oleh Ki Hadjar Dewantara pernah disebut sebagai "tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak"¹, kini lebih mirip alat penjinakan. Ia diarahkan untuk membentuk manusia yang mudah diarahkan, mudah diatur, dan siap menjadi bagian dari mesin produksi kapitalistik. Dalam dunia hari ini, tuntunan itu tidak lagi mengarah pada pembebasan, tetapi pada integrasi ke dalam struktur sosial yang menindas.
Sebagaimana Stuart Hall pernah tekankan, "Budaya adalah medan pertempuran di mana makna diproduksi dan dipertarungkan"². Pendidikan, sebagai salah satu instrumen budaya, telah menjadi arena di mana ideologi dominan dipaksakan secara halus kepada individu sejak dini. Ia tidak sekadar mengajarkan keterampilan teknis, melainkan juga membentuk cara berpikir, cara merasakan, bahkan cara bermimpi. Pendidikan hari ini mengajarkan bahwa sukses adalah beradaptasi, bukan memberontak. Bahwa bertahan di dunia kerja yang brutal adalah prestasi, bukan tragedi.
Kerja pun mengalami degradasi serupa. Apa yang dahulu diperjuangkan oleh buruh sebagai hak atas kerja yang layak kini digantikan oleh narasi fleksibilitas, mobilitas, dan inovasi. Pekerja masa kini tidak hanya menjual tenaga, tetapi juga harus menjual kepribadian, kreativitas, bahkan mimpi-mimpinya. Fleksibilitas kerja yang dipuja-puja oleh neoliberalisme sejatinya hanyalah nama baru bagi ketidakpastian yang dilembagakan.
Seperti yang diungkapkan Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, "Tidak ada pendidikan yang netral. Ia bisa membebaskan atau menindas"³. Pendidikan yang kita miliki hari ini, dengan segala glorifikasinya terhadap inovasi dan adaptasi, lebih banyak berfungsi untuk menindas, melatih individu agar nyaman hidup dalam ketidakadilan struktural.
Hari Buruh dan Hari Pendidikan Nasional, jika dipahami dengan serius, adalah dua sisi dari pertarungan yang sama. Keduanya lahir dari kesadaran bahwa struktur sosial bukanlah sesuatu yang alami atau tak tergoyahkan. Keduanya menegaskan bahwa kerja manusia tidak seharusnya menjadi alat perbudakan, dan bahwa pendidikan seharusnya memupuk keberanian untuk mengubah dunia, bukan sekadar menyesuaikan diri dengannya.
Sebagaimana E.P. Thompson pernah tuliskan, "Sejarah adalah arena perjuangan antara kekuatan sosial yang bertarung memperebutkan masa depan"⁴. Kita, generasi hari ini, harus memilih: menjadi penonton pasif dari keruntuhan mimpi kolektif, atau menjadi bagian dari upaya keras untuk merebut kembali makna pendidikan dan kerja dari tangan ideologi yang korosif.
Menolak diam bukan sekadar pilihan moral, melainkan keharusan historis. Membayangkan pendidikan yang membebaskan berarti membayangkan sekolah sebagai ruang produksi makna alternatif, tempat di mana siswa tidak hanya diajarkan untuk mencari pekerjaan, tetapi juga untuk memahami dunia dan mengubahnya. Membayangkan kerja yang bermartabat berarti membayangkan dunia di mana produktivitas tidak mengorbankan kemanusiaan, di mana solidaritas lebih utama daripada keuntungan individual.
Sebagaimana Stuart Hall mengingatkan, "Kita tidak lari dari ideologi; kita hanya bisa berjuang melawannya dengan ideologi lain"⁵. Hari ini, ideologi alternatif itu harus dibangun di ruang-ruang pendidikan, di tempat kerja, di jalanan, dan di dalam imajinasi kolektif kita.
Hari Buruh dan Hari Pendidikan Nasional bukan sekadar momen mengenang masa lalu. Ia adalah panggilan untuk bertarung merebut masa depan. Dalam dunia yang enggan berubah, keberanian untuk berpikir, bermimpi, dan bertindak tetap menjadi bentuk perlawanan paling radikal.
Karena dunia ini tidak akan berubah dengan sendirinya. Dunia ini hanya berubah jika ada yang cukup keras kepala untuk menolak tunduk.