23 April 2025

Bandung, dengan ragam budaya dan kemacetan lalu lintasnya, menyimpan kisah perjuangan agraria yang tak pernah usai. Di balik proyek-proyek megah dan geliat investasi properti, bergulir praktek akumulasi primitif: penggusuran lahan produktif demi keuntungan cepat, sertifikat bodong yang dipakai lempar ke warga, dan tekanan terstruktur untuk menundukkan mereka yang menancapkan kukunya puluhan tahun. Dari kebon rakyat di Kebon Kawung, gang-gang sempit Sukahaji, Desa Tenjolaya di Cicalengka, hingga halaman sekolah di SMAN 1 Bandung, konflik-konflik itu memaksa kita melihat bagaimana modal merambah ruang hidup dan bagaimana kesadaran kelas perlahan bengkel menjadi senjata tandingan.

Di Kebon Kawung, cerita bermula ketika PT Kereta Api Indonesia mengklaim kepemilikan atas tanah seluas hampir dua hektar dengan mengandalkan sertifikat Hak Pakai kolonial yang peta dan alamatnya tak pernah cocok dengan realita lapangan. Warga yang selama puluhan tahun menanam padi, jagung, dan membuka kios di tepi rel, tiba-tiba didesak menyerahkan tanah mereka. Tanah itu bukan lagi basis penghidupan, melainkan komoditas paling cair—siapa cepat dia dapat. Dalam kerangka Marx, ini adalah “akumulasi primitif” yang mengutamakan pelepasan paksa hak atas alat-alat produksi (dalam hal ini tanah) demi melancarkan sirkulasi modal. Petani dan penduduk lokal, yang semula berada pada ambang kepahitan (class in itself), perlahan dihadapkan pada kebutuhan membentuk solidaritas nyata demi mempertahankan eksistensinya.

Jika di Kebon Kawung kita melihat akal sehat tergilas oleh sertifikat bodong, di Sukahaji pola intimidasi tampil lebih gamblang. Pagar seng berduri muncul bagai benteng Berlin dadakan, memutus akses jalan puluhan rumah dan kios warga. Seolah tak cukup dengan tembok baja, pagi-pagi kebakaran misterius pun merebak di beberapa bangunan, sehari sebelum persidangan pertama diselenggarakan. Api yang menjerat kayu dan atap itulah puing ketakutan yang sengaja dihembuskan oleh aktor-aktor tanah, berharap warga kembali ke kepasrahan. Namun keadaan memunculkan kesadaran baru: warga lintas usia mulai berkoordinasi, mendirikan posko darurat, dan menggunakan media sosial sebagai corong perlawanan. Dalam perspektif Gramsci, inilah lahirnya “hegemoni tandingan” kesadaran kritis yang mematahkan wacana hegemonik pemilik modal.

Cicalengka, dengan panorama pegunungan dan sawah yang rimbun, menyimpan babak paling emosional. Video Nenek Jubaedah yang meratap di depan kamera viral, menuntut agar eksekusi lahan yang dibeli suaminya puluhan tahun lalu ditunda. Ketika ibu-ibu dan bapak-bapak berkumpul dengan spanduk penolakan, mereka bukan hanya mempertahankan tempat tinggal, tapi juga menyuarakan gagasan sejarah kolektif: bahwa tanah adalah hak rakyat. Upaya eksekusi pada April 2025 akhirnya tertunda karena berbagai persoalan administrasi, namun perjuangan itu menggenjot diskursus publik tentang transparansi Badan Pertanahan Nasional dan mekanisme penyelesaian sengketa berbasis partisipasi warga.

Bahkan lembaga pendidikan pun tak kebal. Di SMAN 1 Bandung, separuh hamparan sekolah digugat pihak swasta yang mengklaim hak atas sebagian besar lahan melalui putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. Ruang kelas tertunda pembaharuan, praktik laboratorium disetop sementara, dan murid-murid harus menempelkan spanduk “Tanah Sekolah Bukan Komoditas” di tembok-tembok koridor. Sekolah, yang seharusnya menjadi tempat melepaskan belenggu ketertinggalan sosial, justru terjerat dalam pusaran kapital agraria. Ironi ini menegaskan bahwa kapitalisme agraria tak kenal batas; ia menggerus ruang belajar sebagaimana ia menggerus ruang tawon di ladang.

Dari sudut pandang teori kiri, rangkaian konflik ini bukan sekadar insiden terpisah, melainkan manifestasi struktur ekonomi-politik yang terus mereproduksi ketimpangan. Marx mengajarkan bahwa kepemilikan modal memunculkan relasi eksploitasi; ketika petani kehilangan tanah, mereka diseret ke sektor informal, bergantung pada upah murah dan tidak memiliki daya tawar. Gramsci menambahkan bahwa hegemonia budaya narasi legalitas sertifikat dan putusan pengadilan menjadi alat ideologis yang menutupi kekerasan struktur. Althusser bahkan menyorot bagaimana “aparatus ideologis negara” memperkuat kepentingan modal, demikian pula aparat keamanan yang kerap hadir untuk mengeksekusi atas nama “ketertiban.”

Bagi blogger dan organic intellectual, tugas kita adalah merajut benang merah: menggambarkan bagaimana akumulasi primitif tak hanya merampas tanah, tetapi juga menundukkan kesadaran. Kita harus menyalakan narasi tandingan, memicu diskusi tentang reforma agraria yang sejati yang tidak berhenti pada pembagian sertifikat, melainkan menuntut redistribusi kekayaan, pendidikan politik bagi petani dan warga kota, serta lembaga pertanahan yang akuntabel. Hegemoni tandingan ini harus ditempa melalui tulisan, dialog, dan praktik solidaritas lintas kelas.

Karena pada akhirnya, perlawanan agraria di Bandung bukan sekadar urusan siapa memiliki sertifikat. Ia tentang menegaskan hak atas eksistensi, martabat, dan masa depan kolektif. Tanah bukan hanya segumpal bagian bumi; ia nadi kehidupan dan laboratorium rekayasa kesadaran kelas. Menyibak selubung legalitas yang menindas sama artinya dengan menumbuhkan benih revolusi agraria, tempat modal bukan lagi dewa tertinggi, tetapi salah satu aktor yang harus ditekan oleh kekuatan rakyat yang bersatu.

Bandung Sabubukan
TEGAKAN REFORMA AGRARIA SEJATI