Februari, Diskon Besar-Besaran Hak, Upah, dan Keadilan
Hujan turun seperti memo di ponsel,
singkat, mendadak, dan sering diabaikan.
Di meja warung, kopi menipis lebih cepat dari janji,
sementara di kafe lantai dua,
flat white berbusakan privilese diaduk perlahan.
Di jalanan, langkah-langkah mengirit makna,
karena upah belum cukup membeli suara.
Mereka yang lahir di ujung gang
menghitung koin seperti menghitung doa,
sementara di layar kaca,
kursi-kursi empuk berdebat soal angka
tanpa pernah mencium bau nasi yang diirit tiga hari.
Bulan ini lebih pendek, lebih hemat,
seperti hak yang dipangkas,
seperti suara yang dipelankan.
Keadilan jadi barang flash sale,
cepat habis, tapi hanya yang punya akses
yang sempat membelinya.
Di trotoar, gerobak angkringan berdempetan,
seolah ada ruang di mana kesulitan bisa ditata.
Di jalanan, pengemis tua menggenggam kertas bertuliskan maaf,
karena lapar kini perlu alasan.
Februari, kau bulan hemat kata,
lebih getir, lebih sering lupa.
Seperti pesan yang diketik ulang,
tapi tetap tak terkirim.