04 Februari 2025




Tabung gas LPG 3 kg yang dikeluarkan dengan label “Hanya untuk Masyarakat Miskin” itu? Ya, mari kita anggap saja sebagai sebuah karya seni absurd dari pemerintah yang luar biasa. Bukan hanya sekadar gas yang kita masukkan ke dalam kompor untuk memasak nasi, tapi juga bahan bakar untuk melanjutkan hidup dengan absurditas yang lebih besar lagi. Betapa jeniusnya negara, yang dengan satu label bisa menyimpulkan siapa yang layak disebut miskin dan siapa yang tidak. Gas, yang dulunya adalah barang biasa, kini jadi tiket untuk mendapatkan akses ke dunia yang penuh dengan kesulitan hidup. Semua demi rakyat! Kalau lo miskin, lo bisa dapat subsidi. Kalau lo nggak miskin, ya silakan coba bayar harga pasar. Hebat, kan?

Kebijakan ini sungguh memukau! Negara, yang katanya ingin membantu, malah jadi pelaku utama dalam menciptakan kemiskinan struktural. Label "Hanya untuk Masyarakat Miskin" bukan sekadar petunjuk siapa yang bisa ambil gas, tapi juga jadi semacam tanda tangan pemerintahan: "Hey, ini kami kasih subsidi, tapi jangan salah, kalian tetap miskin, kok!" Jadi kita semua tahu, kan, kemiskinan itu kan bukan karena orang-orangnya, tapi karena sistemnya yang memang sudah didesain untuk menahan orang tetap di tempatnya. Bagus sekali, negara!

Dan kamu tahu apa yang lebih absurd? Gas itu seharusnya barang biasa, bisa dibilang kebutuhan primer. Tapi berkat kebijakan ini, yang seharusnya mudah diakses, kini jadi barang langka, seperti barang antik di pasar loak. Orang miskin yang cuma ingin makan nasi dengan gas pun harus berjuang lebih keras, mungkin nunggu antrean yang lebih panjang dari antrean konser artis idola. Negara bilang ini semua untuk kebaikan, tapi pada kenyataannya, siapa yang paling menderita? Orang miskin, tentu saja. Karena mereka yang tinggal jauh dari agen, mereka yang nggak punya waktu untuk antri, mereka yang udah keburu kehabisan napas sebelum bisa dapetin gas. Wah, keren banget, kan, kebijakan ini?

Sekarang mari kita bicara tentang label itu: “Hanya untuk Masyarakat Miskin.” Wow, negara ini benar-benar pintar mengatur siapa yang pantas hidup dan siapa yang nggak. Miskin itu sekarang bukan hanya soal pendapatan, tapi soal status yang ditentukan oleh negara. Ini bukan cuma soal subsidi, ini tentang menunjukkan siapa yang masih bisa dikendalikan oleh sistem. Negara, yang katanya berjuang untuk keadilan sosial, malah semakin asyik memainkan permainan ini: memberi label pada rakyat, memberi pembatasan pada yang butuh, dan tentu saja, menjaga diri mereka tetap di atas.

Sistem ini bukan cuma soal gas, loh. Ini tentang mengontrol orang, memberi mereka segel status, dan bilang, "Kamu hanya berhak dapat ini karena kamu tetap terjebak dalam kemiskinan yang kami buat." Dan apakah itu adil? Tentunya tidak. Tapi siapa yang peduli soal keadilan ketika yang penting adalah kontrol? Negara cuma memberi bantuan yang sangat terkontrol, tapi tak pernah benar-benar mengubah apa pun. Jadi, bisa dibilang, negara ini membuat kemiskinan itu seperti produk yang bisa dijual dan dibeli. "Gas subsidi untuk yang pantas," katanya. Tapi kenyataannya, yang paling pantas justru selalu jadi yang paling terpinggirkan.

Maka, pada akhirnya, kebijakan ini cuma nambahin satu lagi daftar absurd yang dipaksakan pada mereka yang sudah cukup menderita. Tabung gas ini bukan sekadar pengingat tentang siapa yang layak dapat subsidi, tetapi tentang siapa yang tetap bisa dikendalikan. Negara bilang "Ini untuk kalian yang miskin," padahal sebenarnya itu hanya untuk memelihara kekuasaan dan memberi label pada siapa yang patut hidup dalam dunia yang penuh drama ini. Jadi, kalau kamu merasa jadi bagian dari “Masyarakat Miskin,” ingatlah: ini adalah hadiah dari negara untuk kamu yang terjebak dalam siklus absurd ini.