Feminisme sebagai Puncak Filsafat dan Keadilan Gender dalam Perspektif Sosiologi
Feminisme dalam konteks filsafat dan sosiologi bukan hanya sekadar gerakan sosial, tetapi juga merupakan kritik fundamental terhadap struktur masyarakat yang mengekalkan ketimpangan gender. Sebagai puncak filsafat, feminisme menggugat asumsi-asumsi dasar yang menopang dominasi patriarki dan menegaskan bahwa keadilan gender harus menjadi prinsip utama dalam pembangunan sosial. Feminisme bukan hanya tentang perjuangan perempuan, tetapi juga sebuah upaya dekonstruksi sistemik yang menormalisasi ketidakadilan struktural. Ia mengungkap bagaimana setiap aspek kehidupan mulai dari institusi keluarga hingga mekanisme negara didesain untuk mempertahankan ketimpangan kuasa yang menguntungkan kelompok tertentu sambil menindas kelompok lainnya.
Domestifikasi perempuan merupakan salah satu bentuk ketidakadilan gender yang paling mencolok dalam masyarakat. Sejak lama, perempuan dikonstruksikan sebagai entitas yang terbatas dalam ruang privat, dengan peran utama sebagai ibu dan pengelola rumah tangga. Pola ini tidak hanya membatasi kebebasan perempuan tetapi juga menghambat akses mereka terhadap ruang publik dan kesempatan ekonomi. Sosiolog seperti Sylvia Walby menunjukkan bahwa patriarki modern telah bergeser bentuknya dari domestik ke publik, tetapi tetap mempertahankan struktur eksploitatif. Perempuan yang memasuki dunia kerja masih dihadapkan pada diskriminasi sistematis, seperti upah yang lebih rendah, pelecehan seksual, dan ketimpangan dalam pengambilan keputusan.
Lebih dari sekadar batasan ekonomi, domestifikasi ini berakar pada narasi budaya yang melanggengkan inferioritas perempuan dalam imajinasi sosial. Sastra, seni, dan media secara historis telah mengabadikan citra perempuan sebagai sosok yang tunduk, penuh pengorbanan, dan tidak memiliki otonomi atas tubuh dan pikirannya sendiri. Dalam banyak masyarakat, bahkan pendidikan yang seharusnya menjadi alat emansipasi justru menjadi sarana domestikasi intelektual bagi perempuan. Mereka diajarkan untuk menerima peran yang telah ditentukan tanpa ruang untuk melawan atau mendefinisikan ulang eksistensi mereka.
Dalam struktur masyarakat yang patriarkal, konsep keadilan gender sering kali dimanipulasi untuk mempertahankan status quo. Upaya menciptakan kesetaraan sering dikerdilkan menjadi retorika kosong yang tidak menyentuh akar masalah. Representasi perempuan dalam politik, misalnya, masih sering menjadi simbolik dan tidak diiringi dengan redistribusi kekuasaan yang nyata. Begitu pula dalam dunia pendidikan, perempuan masih terhambat oleh bias kurikulum dan sistem yang tidak mendukung partisipasi penuh mereka. Program-program pemberdayaan perempuan yang ada sering kali berhenti pada permukaan, tanpa mengganggu fondasi ketidakadilan yang telah tertanam begitu dalam.
Lebih jauh lagi, feminisme bukan sekadar gerakan advokasi, melainkan proyek intelektual dan politik yang menantang seluruh bangunan sosial yang menindas. Ia menuntut transformasi radikal dalam cara masyarakat memahami kerja, peran sosial, dan distribusi kekuasaan. Konsep kepemimpinan dan otoritas yang selama ini didominasi laki-laki harus dikaji ulang secara mendalam.
Selain itu, ada ironi besar dalam cara patriarki beroperasi—ia tidak hanya menindas perempuan, tetapi juga menciptakan ketergantungan emosional dan sosial pada perempuan yang kemudian dieksploitasi untuk menopang struktur ini. Perempuan dijadikan penjaga moralitas masyarakat, tetapi dikekang dalam peran-peran yang membatasi pemikiran kritis mereka. Patriarki tidak sekadar merampas hak perempuan, tetapi juga memanipulasi cara mereka memahami dunia dan posisi mereka di dalamnya.
Penghormatan terhadap perempuan bukanlah sekadar memberikan akses lebih luas, tetapi juga menghapuskan segala bentuk batasan struktural yang menghambat kebebasan mereka. Tidak cukup hanya mengakui eksistensi perempuan dalam sektor publik tanpa membongkar sistem yang membentuk eksklusi mereka sejak awal. Feminisme adalah proyek jangka panjang yang tidak hanya menuntut perubahan kebijakan, tetapi juga transformasi mendalam dalam kesadaran kolektif manusia. Dengan kata lain, feminisme bukan hanya perjuangan individu, melainkan gerakan kolektif untuk membangun dunia yang lebih adil dan manusiawi—dunia di mana perempuan tidak lagi menjadi objek, tetapi subjek penuh dalam narasi sejarah dan kebudayaan.