Petani di Simpang Jalan
Di Rancaekek, petani berdiri di simpang jalan. Di satu sisi, ada sawah yang dulu hijau, kini perlahan menguning bukan karena padi yang siap panen, tetapi karena air limbah yang meresap ke akar-akarnya. Di sisi lain, berdiri pabrik-pabrik megah, menjulang seperti monumen kemenangan kapitalisme. Di antara keduanya, ada negara yang berdiri gagah, tidak memihak siapa pun kecuali mereka yang berkuasa.
Dulu, petani menatap langit, berharap hujan turun tepat waktu. Sekarang, mereka menatap sungai, bertanya-tanya apakah airnya masih cukup bersih untuk menghidupi tanah. Dulu, petani bertarung dengan hama, sekarang mereka bertarung dengan keputusan-keputusan yang diambil dalam ruangan ber-AC, jauh dari sawah yang mereka pijak setiap hari. Pupuk mahal, bibit mahal, tapi harga gabah tetap murah. Para petani bertanya-tanya, siapa sebenarnya yang mengatur harga? Apakah ada tangan-tangan tak terlihat yang lebih berkuasa dari cangkul mereka?
Ketika harga beras impor lebih murah daripada hasil panen sendiri, petani bertanya-tanya, apakah menanam padi masih masuk akal? Tapi mereka tak punya pilihan, karena tak ada subsidi yang cukup, tak ada perlindungan yang nyata. Mereka hanya mendapatkan janji, janji bahwa pertanian akan diperkuat, bahwa pangan akan berdaulat. Janji itu terucap di podium-podium tinggi, di kertas-kertas kebijakan yang dicetak rapi—tapi tak pernah sampai ke tangan mereka.
Sementara itu, para pemilik pabrik menepuk dada. Mereka membawa "kemajuan," membawa "lapangan kerja," membawa "pertumbuhan ekonomi." Tapi siapa yang benar-benar tumbuh? Petani kehilangan tanahnya, airnya, dan udaranya. Mereka yang dulu punya lahan sendiri, kini harus bekerja di pabrik sebagai buruh dengan upah pas-pasan, berharap sisa penghasilan cukup untuk membeli beras—ironisnya, beras yang dulu mereka tanam sendiri.
Ketika petani protes, mereka dituduh menghambat pembangunan. Ketika mereka meminta hak atas tanah mereka, mereka disebut tidak realistis. Kata para pejabat, "Indonesia harus maju!" Tapi kemajuan seperti apa yang bisa dinikmati kalau petani yang memberi makan justru dibuat kelaparan?
Mereka dihadapkan pada pilihan yang absurd: menjual sawah mereka kepada pengembang dengan harga murah atau bertahan di tanah yang kian tak subur, menunggu keajaiban yang tak kunjung datang. Negara hadir, katanya untuk menyejahterakan, tetapi sejahtera bagi siapa? Petani tetap di simpang jalan, menatap ke depan, tetapi jalannya semakin kabur.
Di balik slogan "kedaulatan pangan," di balik iklan-iklan pemerintah yang menampilkan gambar petani tersenyum dengan latar sawah hijau, ada kenyataan pahit yang tak pernah disiarkan. Bahwa di Rancaekek, petani tak hanya kehilangan tanah, tetapi juga kehilangan harapan.