07 September 2025


Mari kita jujur. Sosiologi di UIN Bandung sering kali terasa kayak konser musik tanpa sound system: teorinya banyak, tapi suaranya nggak pernah sampai ke luar kelas. Kita diajari Marx, Weber, Durkheim, Parsons, bahkan nama-nama yang bikin lidah kepleset, tapi giliran keluar kampus, realitas sosial jalan terus tanpa pernah menoleh ke kita.

Kampus lebih sibuk mencetak sarjana ketimbang mencetak keberanian. Ujung-ujungnya, jurusan ini mirip pabrik—mesin administrasi yang ngeluarin ijazah dengan barcode, bukan ruang produksi pemikiran. Hasilnya? Lulusan yang hafal teori struktur-agensi, tapi bingung menjelaskan kenapa tukang parkir bisa lebih berkuasa daripada mahasiswa semester akhir.

Bahasa yang dipakai pun seperti mantra yang nggak bisa dipahami masyarakat. Skripsi ditulis dengan jargon tebal, tapi orang tua di rumah cuma bisa geleng kepala: “Jadi, kamu empat tahun kuliah belajar apa?” Kuliah lapangan? Lebih mirip wisata akademik. Jalan ke kampung, tanya tiga pertanyaan, foto bareng, lalu pulang. Padahal Bandung dan Jawa Barat penuh kasus sosial yang bisa jadi laboratorium hidup, dari banjir Dayeuhkolot sampai relasi patron-klien di pasar tradisional.

Ironisnya, psikologi bisa laku di Instagram karena ngomongin mental health, antropologi keren karena bisa nulis soal budaya dan kuliner, sementara sosiologi sibuk dengan seminar berjudul panjang yang audiensnya hanya mahasiswa sosiologi itu sendiri. Ilmu yang katanya kritis justru kehilangan ruang publik.

Jurusan ini butuh keberanian buat keluar dari pabrik pencetak pekerja. Sosiologi seharusnya bukan sekadar tiket jadi dosen atau admin kantor, tapi cara membaca dunia. Kalau terus begini, sosiologi akan tetap jadi ilmu yang “lengkap di buku, kosong di jalanan.” Sebuah disiplin yang pandai mengkritik, tapi takut dikritik.

Jujur saja, kalau sosiologi UIN Bandung tidak berani merombak diri, cepat atau lambat ia akan kalah relevan dibanding tukang rokok eceran yang lebih mengerti jaringan sosial daripada mahasiswa yang hafal Habermas.