Receh, Romantis, Realitas: Paket Lengkap Generasi Patah Tulang
Sal Priadi itu lucu sih. Dia bilang ada titik-titik di ujung doa. Romantis banget, kedengerannya kayak pengumuman cinta di papan mading sekolah. Tapi kalau dipikir-pikir… doa itu seringnya malah macet. Nggak sampai langit, cuma nyangkut di langit-langit mulut. Akhirnya turun lagi, jadi gumpalan kecewa.
Trus Kunto Aji muncul, kasih nasihat: jangan melamun pas hujan. Eh, ini kok kedengarannya agak jahat juga. Karena ya, kalau bukan pas hujan, kapan lagi bisa melamun tanpa merasa bersalah? Dunia ini udah kebanyakan sensor: kerja keras dipuji, scrolling dimaafkan, tapi melamun dituduh males.
Nah, dua lagu ini… kalau diibaratkan, kayak plester luka. Warnanya lucu, tempel aja di kulit. Padahal tulangnya udah patah dari sononya. Mau ditempelin Mickey Mouse juga tetep sakit kalau digerakin.
Sosiologi tentu punya istilah gagah: alienasi, anomie, keterasingan. Tapi kalau orang kampung ngomongnya simpel: “hidup kok gini amat, ya?” Doa-doa panjang, jawaban pendek. Lamunan banyak, teguran lebih banyak.
Ya udah, akhirnya kita jalan juga dengan tulang patah yang dibalut romantisme. Senyum dikit buat kamera, bikin caption bijak, kasih emotikon hujan. Semua pura-pura kuat. Semua pura-pura utuh.
Tapi mungkin anehnya itu ada gunanya juga. Tanpa lagu-lagu model begini, kita cuma punya doa serak-serak basah dan hujan yang jatuh tanpa teman. Jadi, biarin aja. Kalau realitas udah keburu pedih, biarlah musiknya jadi romantisme receh. Minimal, bikin kita bisa ketawa getir sambil bilang: “yaelah, patah tulang pun masih bisa diajak joget.”