22 Januari 2025

Di Timur Bandung, tempat yang kerap dipandang sebagai pinggiran kota dengan segala keterbatasannya, gerakan mahasiswa menjadi medium penting untuk merajut perlawanan. Dari ruang-ruang diskusi sempit hingga jalanan yang penuh teriakan protes, narasi-narasi kritis lahir. Mahasiswa dari kawasan ini membawa warna yang berbeda dalam perjuangan mereka—sebuah perpaduan antara teori dan praksis yang dirangkai dengan semangat romantisme.

Gerakan mereka berakar pada paradigma sosiologi kritis yang menyelami persoalan hegemoni, ketidakadilan kelas, dan eksploitasi yang terjadi di sekeliling mereka. Dalam setiap diskusi, nama-nama besar seperti Antonio Gramsci dan Paulo Freire kerap muncul, namun ide-ide itu tidak hanya berakhir sebagai wacana akademik. Mahasiswa Timur Bandung memahami bahwa perjuangan harus menyentuh langsung kehidupan rakyat. Diskusi menjadi bahan bakar kesadaran, sementara aksi menjadi cara untuk menjadikan teori sebagai kenyataan.

Romantisme perlawanan mereka hidup dalam simbol-simbol sederhana. Dinding-dinding kampus menjadi kanvas protes melalui mural yang penuh kritik sosial. Puisi dan lagu-lagu perjuangan menjadi pengiring aksi-aksi yang dilakukan di jalanan. Mereka memadukan intelektualitas dengan kreativitas, menciptakan ruang perlawanan yang tidak hanya bersifat politis tetapi juga estetis.

Berangkat dari posisi sebagai wilayah yang sering termarjinalkan, mahasiswa Timur Bandung menyadari pentingnya membangun kesadaran kolektif. Ketimpangan pembangunan, stereotip tentang kawasan pinggiran, hingga minimnya akses terhadap fasilitas publik, menjadi bahan bakar yang memperkuat solidaritas mereka. Dalam konteks ini, gerakan mahasiswa bukan hanya tentang menentang kebijakan yang tidak adil, tetapi juga memperjuangkan identitas dan martabat wilayah mereka.

Mereka menolak hierarki yang kaku dalam gerakan. Dalam setiap aksi, setiap individu memiliki suara yang sama. Paradigma libertarian yang mereka anut menjadi antitesis terhadap dominasi kekuasaan yang sentralistik. Solidaritas adalah pondasi dari setiap langkah yang mereka ambil, tanpa ada ruang untuk elitisme. Gerakan ini menjadi cerminan dari keyakinan bahwa perubahan harus berakar dari rakyat dan untuk rakyat, tanpa terkekang oleh struktur yang membatasi.

Namun, romantisme ini tidak datang tanpa harga. Banyak di antara mereka yang akhirnya memilih jalan yang berbeda, sebagian terjun ke politik formal, sebagian lagi tetap bergelut dengan kerja-kerja akar rumput. Meski begitu, semangat yang mereka bawa tetap menyala. Solidaritas yang mereka bangun tetap hidup dalam ingatan kolektif dan menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya.

Di Timur Bandung, romantisme perlawanan mahasiswa bukan hanya sebuah cerita tentang perjuangan, tetapi juga sebuah pelajaran tentang cinta yang tidak mengenal batas. Sebuah cinta pada perubahan, pada rakyat, dan pada keadilan yang tidak pernah berhenti untuk diperjuangk