31 Januari 2025



Kami bukan mahasiswa terbaik di kelas, dan Pak Gustiana paham betul itu. Kami lebih sering bergumul dengan ironi kehidupan daripada menuntaskan tugas, lebih lihai membongkar wacana ketimbang menghafal teori. Namun, ada satu narasi yang selalu beliau kumandangkan dengan penuh semangat: perihal sepeda di Jerman.

Di setiap kuliah, terutama saat membahas modernitas dan etos keseharian, beliau kerap membangun mitologi tentang profesor-profesor di Berlin yang mengayuh sepeda ke kampus. Dalam kisahnya, roda sepeda bukan sekadar alat transportasi, melainkan metafora dari disiplin, kesetaraan, dan rasionalitas. "Di Jerman," katanya, "naik sepeda itu soal cara berpikir. Itu kebiasaan masyarakat yang maju."

Namun, setiap kali kuliah berakhir, beliau melangkah ke parkiran dan memasuki kabin BMW yang mengilap, dengan AC yang menyelamatkannya dari udara siang Bandung yang penuh debu. Kami, yang terbiasa mengendus paradoks, tentu tak luput mencatat kontradiksi ini. Jika sepeda adalah lambang modernitas dan keberadaban, mengapa beliau tetap setia pada mesin Jerman dengan kekuatan 200 tenaga kuda?

Kami, mahasiswa yang terlalu lama berkubang dalam tulisan Bourdieu dan Baudrillard, paham bahwa simbol selalu memiliki hierarki makna. Sepeda, dalam wacana beliau, adalah proklamasi moral. BMW, di sisi lain, adalah kapital sosial yang tak terbantahkan. Kami sering bercanda bahwa jika Pak Gustiana benar-benar ingin hidup dalam narasi yang ia kumandangkan, seharusnya ia menukar kendaraannya dengan sepeda lipat dan mengayuhnya dengan bangga ke kampus. Tapi tentu saja, itu hanya ocehan mahasiswa yang lebih sering mengolok-olok kontradiksi daripada menyelesaikan masalah.

Meski begitu, kami tahu bahwa Pak Gustiana bukan sekadar pengkhotbah kosong. Ia paham bahwa realitas tidak pernah sesederhana idealisme. Kami pun begitu—banyak bicara soal egalitarianisme, tapi tetap rajin memesan barang-barang berlogo eksklusif. Kami mengkritik kapitalisme, tapi tak bisa lepas dari gawai yang selalu kami genggam.

Kami juga tak bisa melupakan kenakalan kami di Gedung Al-Jamiah. Suatu hari, entah karena kejenuhan akademik atau sekadar dorongan anarki kecil, kami memutuskan untuk mengetes sistem pemadam api di tengah kuliahnya. Satu tarikan tuas, dan seketika ruangan dipenuhi kabut putih dari sprinkler yang menyembur tanpa ampun. Pak Gustiana, yang saat itu sedang mengurai teori sekularisasi, hanya bisa terbatuk di tengah kepanikan massal. Kami? Berhamburan keluar, setengah khawatir akan sanksi, setengah bangga telah menciptakan kekacauan di tengah keteraturan akademik yang membosankan.

Pak Gustiana tidak pernah benar-benar murka. Ia hanya menggelengkan kepala dan, dengan suara yang masih parau karena asap pemadam, berujar, "Di Jerman, mahasiswa nggak begini."

Kini beliau telah tiada. Kampus kehilangan satu suara yang selalu fasih menguraikan peradaban, satu figur yang penuh paradoks namun tetap menginspirasi. Kami kehilangan seorang dosen yang mungkin tidak selalu hidup sesuai khotbahnya, tetapi setidaknya, ia telah menanamkan cukup banyak benih pemikiran di kepala kami—benih yang akan terus tumbuh dalam perdebatan, tulisan, dan mungkin, dalam satire yang kami lontarkan dengan penuh hormat.

Dan biarpun kami kerap menertawakan kontradiksi beliau, kami tetap membawa warisannya. Kami masih mengingat diskusi-diskusinya tentang modernitas dan sekularisasi. Kami masih membaca teks-teks yang dulu ia gunakan sebagai bahan kuliah, masih meragukan dan mempertanyakan teori yang ia ajarkan. Dan meskipun kami belum tentu akan berhenti merayakan absurditas dunia atau mempraktikkan hidup minimalis seperti yang beliau sanjung, kami tahu bahwa di dalam kepala kami, pemikirannya masih berputar—seperti roda sepeda yang tak pernah benar-benar berhenti di jalanan kehidupan akademik kami.

Selamat jalan, Pak Gustiana. Semoga di tempat yang baru, tidak ada mahasiswa jahil yang menarik tuas pemadam api saat Anda sedang mengajar. Tetapi semoga ada cukup banyak orang yang masih berpikir, bertanya, dan mempertanyakan—seperti yang selalu Anda ajarkan kepada kami.