Trend Hijrah: Antara Spiritualitas dan Komodifikasi
Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena hijrah telah menjadi tren besar di kalangan umat Islam, khususnya generasi muda. Hijrah, yang awalnya bermakna transformasi spiritual menuju kehidupan yang lebih religius, kini berkembang menjadi gerakan sosial yang melibatkan gaya hidup tertentu. Dengan dukungan media sosial dan perkembangan industri keagamaan, hijrah tidak hanya menjadi fenomena spiritual, tetapi juga komoditas yang dipasarkan. Di sinilah muncul persoalan, ketika nilai-nilai agama yang mendalam berisiko tereduksi menjadi sekadar gaya hidup yang dikemas untuk konsumsi.
Trend hijrah ini didorong oleh semangat generasi muda untuk mencari makna hidup yang lebih autentik di tengah kegamangan modernitas. Hijrah sering kali dimulai dari perubahan gaya hidup, seperti mengenakan pakaian syar’i, mengikuti kajian agama, atau mengadopsi praktik-praktik keislaman yang dianggap lebih "murni." Semangat ini tentu perlu diapresiasi, karena mencerminkan kesadaran spiritual yang meningkat. Namun, hijrah juga tidak lepas dari pengaruh kapitalisme modern, yang melihat peluang untuk mengubah fenomena ini menjadi ladang bisnis.
Komodifikasi hijrah tampak jelas dalam maraknya produk dan layanan yang mengatasnamakan agama. Industri busana Muslim, misalnya, menjadikan pakaian syar’i bukan hanya sebagai ekspresi religius, tetapi juga simbol status sosial. Brand pakaian berlomba-lomba memasarkan hijab premium dengan harga tinggi, menciptakan kesan bahwa hijrah hanya dapat diwujudkan melalui konsumsi produk tertentu. Fenomena serupa terlihat dalam layanan perjalanan religius seperti umrah eksklusif atau seminar motivasi hijrah yang sering kali dipatok dengan biaya mahal.
Komodifikasi ini menghadirkan beberapa persoalan mendasar. Pertama, hijrah yang seharusnya berfokus pada transformasi batin berisiko terjebak dalam materialisme. Simbol-simbol religius yang dipasarkan secara agresif menciptakan ilusi bahwa keberagamaan dapat diukur dari apa yang dikenakan atau dimiliki, bukan dari kualitas moral dan spiritual seseorang. Kedua, komodifikasi agama menciptakan ketimpangan sosial. Mereka yang memiliki keterbatasan ekonomi sering kali merasa tersisih dari tren hijrah, karena tidak mampu mengakses produk atau layanan yang dianggap sebagai bagian dari gaya hidup religius tersebut.
Pandangan ini sejalan dengan kritik yang diajukan oleh tokoh seperti Fazlur Rahman, yang menekankan pentingnya memahami agama secara substantif, bukan sekadar formalitas. Dalam pandangannya, agama harus menjadi pedoman moral dan spiritual yang transformatif, bukan alat untuk mendukung struktur ekonomi yang eksploitatif. Pendekatan ini juga relevan dengan pemikiran Nurcholish Madjid, yang mengingatkan bahwa kesalehan bukanlah sesuatu yang dapat diukur dari simbol-simbol lahiriah, tetapi dari dampak nyata dalam kehidupan sosial.
Fenomena hijrah yang menjadi komoditas juga dapat dianalisis melalui perspektif filsafat Islam. Al-Farabi, misalnya, menekankan pentingnya kebajikan dan kebijaksanaan dalam membangun masyarakat. Dalam konteks hijrah, kebajikan ini berarti menghindari reduksi nilai-nilai agama menjadi sekadar alat konsumsi. Ibn Rushd, dengan pendekatan rasionalitasnya, juga mengingatkan perlunya refleksi mendalam dalam menjalani kehidupan beragama agar tidak terjebak dalam formalitas atau kepentingan pasar.
Trend hijrah yang telah menjadi komodifikasi perlu dikembalikan kepada esensi spiritualnya. Hijrah seharusnya tidak hanya menjadi ajang untuk memperlihatkan transformasi lahiriah, tetapi juga perubahan batin yang mendalam. Komunitas dan pemimpin agama memiliki peran penting dalam mengarahkan fenomena ini agar tidak kehilangan makna sejatinya. Dengan cara ini, hijrah dapat menjadi gerakan yang tidak hanya memperkuat keimanan individu, tetapi juga membawa dampak positif bagi masyarakat luas, tanpa harus terjebak dalam pusaran kapitalisme.
Pada akhirnya, keberagamaan yang sejati tidak ditentukan oleh merek pakaian, biaya seminar, atau popularitas di media sosial. Hijrah yang autentik adalah perjalanan menuju kedalaman spiritual, keberanian untuk memperbaiki diri, dan komitmen untuk menjalankan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Melampaui komodifikasi, hijrah harus menjadi sarana untuk merawat hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia secara tulus dan inklusif.