Hujan di Ambang Magrib
Hujan adalah zikir langit,
membisikkan nama-nama rahasia-Nya
dalam aliran takdir yang menetes perlahan.
Setiap rintiknya,
seperti tasbih tak berujung,
menghitung perjalanan ruh dari tiada menuju ada.
Di ambang magrib, waktu merunduk,
menjadi ruang antara fana dan baqa.
Langit melipat dirinya,
seperti seorang fakir
yang menemukan kekosongan di puncak makrifat.
Di sana, hujan bukan lagi air,
melainkan hujjah,
peringatan bagi jiwa-jiwa yang lalai:
“Segala yang mengalir akan kembali ke Laut Tak Bertepi.”
Apakah magrib adalah hijrah kita?
Di mana gelap menjadi rahim
yang melahirkan terang dari dalam diri?
Setiap tetes hujan adalah huruf,
membentuk syair yang hanya dipahami hati yang khusyu’:
"Tiada yang basah kecuali telah disentuh cinta-Nya."
Bumi yang pasrah menadah hujan,
adalah murid yang sujud di hadapan Guru.
Dan kita, yang berdiri di ambang waktu,
adalah bayang-bayang,
menari di antara fana dan kekekalan,
merindu sirna dalam lautan hujan
yang menyebutkan hanya satu nama: Hu.
Magrib mengintip di cakrawala,
mengajarkan bahwa pertemuan adalah rahmat,
dan perpisahan adalah jalan pulang.
Hujan hanyalah perantara,
tangis halus langit
yang memanggil ruh untuk kembali ke hakikatnya.
Kembalilah. Segala sesuatu berawal dan berakhir di Dia.