27 Januari 2025




Januari selesai menghitung jari,
satu per satu,
menggulung harapan seperti karung beras
yang makin ringan setiap hari.
Di jalan, bau minyak goreng bercampur debu,
sementara di pasar, harga-harga melompat
seperti janji-janji kampanye
yang dilupakan di meja-meja rapat.

Kondisi negeri ini adalah angka
yang tak pernah kita mengerti:
inflasi, subsidi, defisit
semuanya berbaris seperti prajurit,
menyerang tanpa memberi jeda.
Di layar kaca, wajah-wajah berdasi
berdebat tentang solusi,
sementara di gang sempit,
seorang ibu menghitung receh
untuk sekadar membeli sebutir telur.

Langit memerah bukan karena senja,
tapi karena pabrik-pabrik yang terus menyala,
mengasapi tanah yang sudah jenuh.
Dan tanah itu,
menyimpan tapak kaki petani
yang kian dalam,
terhisap oleh pupuk mahal
dan panen yang tak pernah cukup
untuk mengganti utang mereka.

Di kota, deru motor ojek berbaur
dengan teriakan anak jalanan,
“Lima ribu, Bang, buat makan malam!”
Tapi makan malam siapa?
Tukang becak yang tidur di emperan toko,
atau mahasiswa yang menghabiskan malam
di warung kopi murah,
berdebat tentang utopia
yang terasa seperti mimpi buruk?

Realitas ini tak mengenal belas kasih.
Mereka yang punya banyak,
bertanya, “Kenapa mereka mengeluh?”
Mereka yang punya sedikit,
bertanya, “Kenapa kami terus disalahkan?”
Dan kita,
diam di tengah,
mengais kepastian di antara reruntuhan harapan.

Januari pun habis,
seperti rokok yang diisap perlahan,
meninggalkan abu di sudut meja.
Dan Februari datang,
bukan dengan jawaban,
tapi dengan pertanyaan yang sama:
“Berapa lama lagi kita mencintai negeri ini
tanpa harus mencintai mereka
yang duduk di atas luka kita?”