29 Januari 2025


Rokok itu, katanya, teman sejati. Tapi anehnya, teman ini justru paling rajin mencuri: paru-paru diambilnya sedikit demi sedikit, uang dicomotnya setiap hari, bahkan waktu hidup pun dipangkasnya diam-diam. Kalau memang teman, kok mirip maling kelas kakap?

Vape muncul sebagai si anak baru. Katanya lebih modern, lebih aman. Dengan asap yang wangi rasa buah, vape menjanjikan ilusi sehat. Tapi ya tetap saja, ini asap yang dikemas jadi elegan. Seperti kucing yang pakai jas, tetap saja dia mencakar di belakang layar. Jangan lupa, harganya. Demi sebuah perangkat keren yang katanya canggih, dompet harus rela diet mendadak.

Lalu datang IQOS, yang berlagak akademis. Ini rokok dengan gelar sarjana. Tidak dibakar, tapi dipanaskan. Karena, ya, ternyata hanya dengan sedikit perubahan suhu, kita bisa merasa lebih pintar saat mengisap tembakau. Harganya? Seperti membayar kuliah satu semester hanya untuk menikmati "kenikmatan pintar" ini. Nikotin tetap masuk, kanker tetap menunggu di ujung jalan. Bedanya hanya kamu merasa lebih bergaya saat merusak diri sendiri.

Sementara itu, ada mereka yang memilih tidak merokok. Ah, membosankan sekali hidup mereka, bukan? Tidak ada asap, tidak ada aroma tembakau, tidak ada drama kehabisan rokok tengah malam. Paru-paru mereka bersih, dompet mereka gemuk, tapi di mana asyiknya hidup tanpa kontribusi untuk cukai negara?

Dan begitulah, perdebatan panjang soal rokok, vape, dan IQOS ini. Semua menawarkan "kenikmatan" dengan harga yang lumayan: paru-paru bolong, kantong kosong, dan hidup yang dipotong diam-diam. Tapi tenang saja, teman sejati selalu ada untuk menemani diruang ICU nanti.