Teruntuk Bigot Dan Despot Pembakar Buku
Di ujung malam, suara gesekan kayu,
Api menyala, menyala bak semangat yang membara,
Para pembakar buku, dengan bangga berucap,
“Mari kita musnahkan semua yang tak sesuai selera!”
Halaman-halaman berteriak, dalam kebakaran yang megah,
Kata-kata yang hidup, disisihkan dalam duka,
“Tuhan tak membakar buku!” teriak mereka yang teraniaya,
Sambil merobek makna, menutup mata pada kebenaran yang terjaga.
Di lautan hitam, api mencerminkan rasa,
Menghitamkan jiwa, menenggelamkan suara.
Buku-buku terbenam, seperti kenangan terkapar,
Sejarah dipadamkan, harapan yang sirna, lenyap dalam bakar.
Seperti Nazi yang tak mengenal belas,
Menghancurkan pengetahuan demi kekuasaan dan takut.
Di mana kebenaran terbungkam dalam keangkuhan,
Mengira mereka lebih mulia, dalam bayang kebodohan.
Di antara Manikebu dan Lekra yang berseteru,
Pertarungan ide, suara yang membara dalam hati.
Namun dalam perpecahan, para pembakar bersorak,
“Mari kita padamkan, semua yang tak sejalan, tanpa restu!”
Oh, para pembakar buku, di ujung malam ini,
Mengapa takut pada kebenaran yang menyakiti?
“Tuhan tak membakar buku!” jadi mantra harapan,
Dalam kekosongan, kalian hanya melukiskan,
Bahwa kebodohan selalu lebih nyaman, tanpa pertanyaan.
Jadi, biarkan mereka bakar apa yang tak mereka mengerti,
Sementara kita, di ujung malam, terus membaca dan berpikir,
Karena kata-kata yang terlahir, tak akan pernah mati,
Dalam hati yang merdeka, dalam jiwa yang berani.