27 Oktober 2024




Sumpah Pemuda yang dideklarasikan pada tahun 1928 adalah tonggak penting yang menegaskan komitmen anak-anak muda Indonesia untuk bersatu dalam satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air. Namun, meskipun semangat persatuan ini telah dijunjung tinggi sejak dulu, kekerasan dalam dunia pendidikan tetap menjadi masalah serius yang belum terselesaikan. Ironisnya, sekolah, yang seharusnya menjadi ruang bagi pembentukan nilai-nilai kemanusiaan, justru menjadi tempat di mana berbagai bentuk kekerasan terjadi, mulai dari perundungan hingga kekerasan fisik dan emosional. Pendidikan, yang idealnya membentuk karakter dan kesadaran sosial, justru terjebak dalam siklus kekerasan yang terus berulang.

Pendidikan inklusif hadir sebagai pendekatan yang memungkinkan semua siswa, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, maupun kemampuan fisik, untuk belajar bersama dalam satu ruang. Dengan memberi tempat bagi siswa yang beragam, pendidikan inklusif berpotensi besar untuk menumbuhkan sikap saling menghormati dan toleransi, yang merupakan dasar dari persatuan yang diamanatkan oleh Sumpah Pemuda. Sayangnya, dalam praktiknya, penerapan pendidikan inklusif di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, baik dari aspek budaya sekolah yang masih cenderung mendukung kekerasan maupun dari keterbatasan pemahaman akan pentingnya menerima perbedaan.

Pendidikan inklusif seharusnya bukan sekadar jargon, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Imam B. Prasodjo, sosiolog Indonesia, menekankan bahwa "pendidikan inklusif tidak boleh hanya menjadi retorika. Ia harus diwujudkan dalam praktik sehari-hari di sekolah, dengan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dan saling menghargai." Dalam pendidikan inklusif yang sebenarnya, setiap siswa mendapatkan ruang untuk mengembangkan dirinya tanpa tekanan atau diskriminasi. Mereka diajarkan bahwa perbedaan adalah sesuatu yang harus dihargai, bukan dianggap sebagai kelemahan. Lingkungan sekolah yang inklusif menciptakan kesempatan bagi siswa untuk belajar tentang toleransi dan empati sejak dini, sehingga mengurangi potensi kekerasan yang timbul dari ketidakmengertian atau ketidakmampuan untuk menghargai orang lain.

Namun, pendidikan inklusif tidak dapat berhasil tanpa perubahan mendasar dalam sistem pendidikan yang masih kaku dan otoriter. Struktur pendidikan kita yang cenderung menempatkan guru dan pengelola sekolah sebagai otoritas tertinggi, tanpa ruang untuk dialog atau partisipasi aktif siswa, berisiko membuat pendidikan inklusif sekadar wacana. Ketika siswa tidak diberi ruang untuk mengekspresikan pendapat dan kebutuhan mereka, serta terjebak dalam sistem yang membatasi kebebasan mereka, kekerasan sering kali menjadi saluran bagi frustrasi yang terpendam. Ignas Kleden, sosiolog Indonesia, pernah mengingatkan bahwa "pendidikan yang otoriter hanya akan menghasilkan individu yang takut berbicara dan tidak memiliki suara. Sistem pendidikan semacam ini menutup kemungkinan untuk membangun kesadaran sosial dan rasa empati di kalangan siswa."

Di sisi lain, pendidikan inklusif juga membuka ruang bagi guru untuk mengembangkan kapasitas mereka dalam menghadapi keragaman di dalam kelas. Guru yang mengajar dalam lingkungan inklusif harus mampu mengenali dan menghargai perbedaan individu setiap siswa, serta membantu mereka belajar untuk menghargai sesama tanpa melihat latar belakang. Namun, banyak guru di Indonesia masih belum dilatih untuk mengelola kelas inklusif, dan beberapa di antaranya bahkan menggunakan kekerasan sebagai metode untuk "mendisiplinkan" siswa. Dengan pendekatan yang masih kaku ini, sulit bagi pendidikan kita untuk benar-benar menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dan mengatasi kekerasan.

Sistem pendidikan yang masih menekankan pada nilai akademik sebagai indikator utama kesuksesan juga memperparah kondisi ini. Kurikulum yang hanya berfokus pada pencapaian akademik menciptakan tekanan yang tinggi pada siswa, sehingga menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Banyak siswa yang merasa harus “menaklukkan” yang lain untuk mencapai nilai yang diinginkan. Padahal, sebagaimana diungkapkan oleh Soedjatmoko, *"pendidikan harus dimaknai sebagai alat pembebasan, bukan sekadar alat penaklukan."* Jika pendidikan hanya menjadi alat penaklukan, siswa akan terus belajar melihat kompetisi sebagai alasan untuk mengabaikan perasaan dan kebutuhan orang lain, bahkan untuk menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuannya.

Pendidikan inklusif, dalam bentuk idealnya, menawarkan alternatif dari pendekatan yang kaku dan kompetitif ini. Dengan menciptakan ruang belajar yang menghargai setiap siswa dan memungkinkan mereka berkembang sesuai dengan keunikan mereka, pendidikan inklusif berpotensi membentuk generasi yang lebih empatik dan menghargai perbedaan. Ariel Heryanto menekankan bahwa *"pendidikan harus bisa menumbuhkan empati dalam diri siswa, bukan hanya sekadar prestasi akademik. Pendidikan yang tidak menumbuhkan empati hanya akan membangun generasi yang tidak peduli akan sesamanya."* Ketika empati menjadi bagian dari nilai-nilai yang diajarkan di sekolah, siswa belajar menyelesaikan konflik tanpa kekerasan dan lebih mampu menerima perbedaan sebagai bagian dari kehidupan.

Sebagai perwujudan dari semangat Sumpah Pemuda, pendidikan inklusif tidak hanya berperan penting bagi mereka yang selama ini termarjinalkan atau berbeda, tetapi juga bagi seluruh siswa. Dengan memberikan pengalaman belajar yang mencerminkan nilai persatuan dan saling menghargai, pendidikan inklusif menanamkan nilai-nilai dasar yang sangat relevan dengan cita-cita bangsa ini. Pendidikan inklusif memungkinkan siswa belajar dalam lingkungan yang menghargai keragaman, sehingga mengurangi sikap diskriminatif yang sering kali menjadi akar kekerasan.

Sumpah Pemuda bukan sekadar peringatan tahunan, melainkan sebuah inspirasi yang harus diterapkan dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk pendidikan. Jika pendidikan inklusif diterapkan dengan sungguh-sungguh, ia bisa menjadi alat pembebasan yang mengubah cara pandang siswa terhadap perbedaan, sehingga tidak lagi melihat perbedaan sebagai ancaman atau kelemahan. Sebagaimana diungkapkan oleh Soedjatmoko, "pendidikan yang sejati harus menjadi alat pembebasan untuk membangun masyarakat yang lebih manusiawi." Jika pendidikan kita gagal menerapkan nilai-nilai ini, maka ia hanya akan menjadi instrumen penindasan yang terus memperkuat pola-pola kekerasan dalam masyarakat.

Melalui pendidikan inklusif, kita dapat membangun generasi yang lebih toleran dan damai, generasi yang mampu menyelesaikan konflik dengan dialog dan penghargaan terhadap perbedaan. Inklusivitas dalam pendidikan harus menjadi fondasi bagi pembentukan karakter bangsa yang kuat dan berintegritas, sesuai dengan semangat persatuan yang dikobarkan oleh Sumpah Pemuda.