Sebuah Tinjauan Kritis terhadap TPPK
"Keadilan gender bukan hanya tentang kesetaraan hak, tetapi juga tentang memahami dan menghargai perbedaan, serta menciptakan ruang yang aman bagi semua."
Kekerasan di sekolah merupakan masalah kompleks yang mengakar dalam struktur sosial, budaya, dan institusi pendidikan. Dengan meningkatnya perhatian terhadap isu ini, keberadaan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) serta Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (Satuan Tugas) menjadi penting sebagai garda terdepan dalam mengatasi fenomena kekerasan di lingkungan pendidikan. Namun, dalam praktiknya, kinerja kedua entitas ini sering kali tidak sejalan dengan harapan masyarakat. Untuk memahami situasi ini, penting untuk melakukan analisis sosiologis yang mendalam terhadap berbagai faktor yang memengaruhi efektivitas TPPK dan Satuan Tugas, terutama dalam konteks keadilan gender.
Dari sudut pandang sosiologis, kekerasan di sekolah bukan hanya masalah individual, melainkan juga cerminan dari kondisi sosial yang lebih luas. Emile Durkheim, seorang tokoh sosiologi, menjelaskan bahwa kekerasan dapat muncul sebagai akibat dari kondisi anomie, yaitu keadaan di mana norma dan nilai sosial tidak lagi dipegang teguh. Dalam konteks pendidikan, jika TPPK dan Satuan Tugas tidak mampu menciptakan norma yang kuat dan integrasi sosial di antara siswa, guru, dan tenaga kependidikan, maka kekerasan akan terus merajalela. Terlebih lagi, tanpa mempertimbangkan aspek gender, peraturan yang tegas bisa menjadi tidak efektif karena tidak mencakup pengalaman dan perspektif siswa perempuan yang sering kali berbeda dalam menghadapi kekerasan.
Salah satu aspek yang sering terabaikan dalam upaya TPPK dan Satuan Tugas adalah peran aktif seluruh warga sekolah, termasuk siswa, guru, kepala sekolah, dan tenaga kependidikan. TPPK dan Satuan Tugas cenderung mengadopsi pendekatan top-down dalam menangani kekerasan, di mana keputusan dibuat oleh pihak tertentu tanpa melibatkan suara siswa yang merupakan kelompok paling terdampak. Hal ini berpotensi menciptakan rasa alienasi di kalangan siswa, terutama siswa perempuan yang mungkin menghadapi kekerasan dalam bentuk yang lebih halus atau berbeda. Pierre Bourdieu berargumen bahwa hubungan kekuasaan yang timpang di sekolah menciptakan kekerasan simbolik yang memperkuat ketidaksetaraan. Tanpa partisipasi aktif dari siswa dalam upaya pencegahan, TPPK dan Satuan Tugas tidak akan dapat memahami sepenuhnya dinamika sosial yang berkontribusi terhadap kekerasan, termasuk faktor-faktor gender yang memengaruhi pengalaman mereka.
Tenaga administratif memiliki peran yang sangat strategis dalam mendukung tugas TPPK dan Satuan Tugas. Mereka memiliki pengetahuan yang mendalam tentang karakteristik siswa dan dinamika sosial di sekolah, termasuk isu-isu gender. Namun, dalam banyak kasus, tenaga administratif ini tidak dilibatkan dalam perumusan kebijakan atau program-program pencegahan kekerasan. Mereka seharusnya dapat menjadi jembatan antara TPPK, siswa, dan orang tua, serta membantu dalam mengumpulkan data yang akurat mengenai insiden kekerasan yang mungkin berhubungan dengan gender. Tanpa keterlibatan mereka, upaya TPPK dan Satuan Tugas akan kehilangan perspektif penting yang dapat membantu dalam penanganan kekerasan secara komprehensif.
Kelemahan lain yang perlu dicermati adalah kurangnya pelatihan dan pendidikan yang memadai bagi anggota TPPK dan Satuan Tugas. Banyak anggota tidak memiliki pemahaman yang mendalam mengenai dinamika kekerasan, termasuk cara mengenali tanda-tanda awal dan pendekatan yang efektif untuk menanganinya. Menurut Sarlito Wirawan Sarwono, penting bagi setiap individu yang terlibat dalam penanganan kekerasan untuk memiliki kesadaran sosial yang tinggi dan pemahaman yang baik tentang konteks di mana kekerasan terjadi. Tanpa pemahaman yang memadai, TPPK dan Satuan Tugas akan kesulitan dalam mengimplementasikan program-program yang benar-benar efektif dan responsif terhadap isu gender.
Konteks globalisasi juga membawa tantangan baru yang perlu dihadapi oleh TPPK dan Satuan Tugas. Pengaruh media sosial, akses informasi yang tidak terkontrol, dan budaya populer yang merayakan kekerasan dapat memperburuk situasi di sekolah. Siswa sering terpapar konten yang merugikan yang dapat membentuk sikap dan perilaku mereka, seringkali memperkuat stereotip gender. Namun, respons TPPK dan Satuan Tugas terhadap fenomena ini masih kurang. Mereka tidak cukup aktif dalam meningkatkan literasi media di kalangan siswa, sehingga siswa tidak dibekali keterampilan kritis untuk menilai informasi yang mereka terima. Dalam era di mana informasi beredar dengan cepat, kemampuan untuk menganalisis dan memahami konten media menjadi krusial dalam pencegahan kekerasan, terutama yang berbasis gender.
Kegagalan komunikasi dan kolaborasi antar pemangku kepentingan di sekolah menjadi titik lemah yang menghambat efektivitas TPPK dan Satuan Tugas. Howard Becker dalam teorinya mengenai interaksionisme simbolik menekankan pentingnya konteks sosial dalam memahami tindakan individu. Jika TPPK dan Satuan Tugas tidak mampu membangun komunikasi yang efektif dengan guru, siswa, dan orang tua, mereka akan kesulitan dalam mengidentifikasi dan menangani kasus kekerasan secara tepat. Keterlibatan orang tua dalam program-program pencegahan kekerasan juga sangat penting. Orang tua dapat berperan sebagai penghubung antara rumah dan sekolah, membantu mengawasi perilaku anak dan memberikan dukungan yang dibutuhkan, serta mendorong pemahaman yang lebih baik tentang keadilan gender.
Sementara itu, pendekatan yang terlalu birokratis dari TPPK dan Satuan Tugas dalam menangani kekerasan sering kali mengabaikan kebutuhan dan aspirasi siswa, terutama siswa perempuan. Pendekatan ini cenderung menekankan pembuatan peraturan dan prosedur yang kaku, tanpa mempertimbangkan konteks sosial yang lebih luas di mana kekerasan terjadi. Setiap kebijakan yang diterapkan tanpa memahami realitas sosial, termasuk aspek gender, akan berujung pada ketidakpuasan dan kegagalan dalam mencapai tujuan. TPPK dan Satuan Tugas perlu mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan semua siswa, di mana mereka terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan merasakan dampak dari kebijakan yang diterapkan.
Dari analisis di atas, jelas bahwa untuk mencapai tujuan pencegahan kekerasan di sekolah, TPPK dan Satuan Tugas harus melakukan perubahan mendasar dalam pendekatan mereka, termasuk dalam hal keadilan gender. Keterlibatan seluruh warga sekolah, terutama siswa, sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif. TPPK dan Satuan Tugas harus berupaya untuk mengembangkan program-program pencegahan yang berbasis pada pemahaman sosiologis mengenai kekerasan, serta memperkuat literasi media di kalangan siswa. Hal ini dapat dilakukan melalui pelatihan dan workshop yang melibatkan semua pemangku kepentingan, untuk membangun kesadaran dan pemahaman yang lebih baik tentang kekerasan dan cara-cara pencegahannya, dengan mempertimbangkan perspektif gender.
Kesimpulannya, kritik tajam terhadap TPPK dan Satuan Tugas dalam penanganan kekerasan di sekolah tidak hanya diperlukan, tetapi juga mendesak. Melalui pendekatan yang lebih inklusif, partisipatif, dan berbasis pemahaman sosiologis serta keadilan gender, diharapkan TPPK dan Satuan Tugas dapat bertransformasi menjadi agen perubahan yang proaktif dalam menciptakan sekolah yang bebas dari kekerasan. Dengan membangun sinergi antara semua pemangku kepentingan dan meningkatkan literasi, mereka dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih aman, sehat, dan mendukung perkembangan siswa, tanpa terkecuali.
Dalam dunia yang semakin kompleks ini, tindakan yang terkoordinasi dan holistik adalah kunci untuk menciptakan perubahan yang nyata dan berkelanjutan dalam penanganan kekerasan di sekolah. Saatnya bagi TPPK dan Satuan Tugas untuk mengakui peran mereka sebagai bagian dari jaringan sosial yang lebih besar dan berkomitmen untuk menciptakan kondisi yang mendukung bagi setiap siswa, agar mereka dapat belajar dan berkembang dengan aman.
---
**Aulia, S.Sos**
Penikmat Sunyi