Reformasi Terjebak di Bibir: Pengkhianatan Ideal Budiman dan Onani Intelektual Kaum Merah Muda
Perdebatan panjang mengenai keberlanjutan perjuangan hak asasi manusia (HAM) yang dimulai pada 1998 terus menyeruak. Di tengah bayang-bayang kasus HAM masa lalu yang belum terselesaikan, keterlibatan tokoh reformasi seperti Budiman Sudjatmiko dalam ranah politik praktis menghadirkan kontroversi mendalam. Ia, yang dahulu dikenal sebagai seorang aktivis yang teguh membela hak-hak rakyat, kini berada dalam lingkungan yang bagi banyak orang terkesan bertolak belakang dengan semangat perlawanan 1998. Perubahan ini memunculkan dilema: apakah tokoh pergerakan seperti Budiman, yang kini terjun dalam politik, dapat tetap menjadi simbol perjuangan HAM, atau malah menjadi bagian dari sistem yang ia kritik di masa lalu?
Bagi sebagian masyarakat dan pemerhati sejarah reformasi, Budiman adalah sosok yang masih dipercayai. Ada yang berpendapat bahwa keterlibatannya dalam lingkaran politik adalah bentuk dari adaptasi pragmatis terhadap realitas sosial yang ada. Mereka berargumen bahwa menempuh jalur politik formal adalah salah satu cara untuk membawa perubahan dari dalam. Dalam konteks ini, Budiman bukanlah sekadar seorang “mantan aktivis,” tetapi seorang politisi yang dianggap mampu mengawinkan idealisme dan realitas. Namun, tidak sedikit pula pihak yang melihat keterlibatan politiknya sebagai bentuk penghianatan terhadap nilai-nilai reformasi dan hanya mengokohkan kebiasaan kompromi yang sering kali merugikan rakyat.
Pandangan ini semakin rumit ketika kita mengkaji gerakan mahasiswa “berhaluan radikal” yang menjadi tumpuan semangat pembaruan. Ada kritik pedas yang sering dilayangkan pada gerakan mahasiswa yang mengusung "pemikiran progresif" ini, yang cenderung dianggap sebagai “bualan kosong” tanpa aksi nyata. Di banyak kampus, diskusi dan seminar tentang gagasan-gagasan ideal, keadilan, dan HAM seakan tidak pernah sepi. Namun, sayangnya, gagasan-gagasan kritis ini kerap kali berakhir sebagai retorika belaka. Ini seperti fenomena onani intelektual: banyak berbicara, berargumen tajam di ruang akademis, tetapi sangat minim aksi nyata di lapangan. Mereka terjebak dalam romantisme perlawanan, tanpa ada keberanian untuk benar-benar turun tangan dalam menyelesaikan isu-isu krusial yang ada di depan mata.
Gerakan mahasiswa yang terjebak dalam retorika ini bisa kita telusuri dengan analisis yang kritis terhadap peran dan fungsi mereka sebagai agen perubahan. Berangkat dari pemikiran sosiolog klasik Karl Marx, para "pengusung semangat merah" ini seyogianya bergerak dari sekadar teori ke praktik, dari sekadar wacana ke aksi. Namun, yang terjadi di banyak perguruan tinggi adalah pergeseran gerakan ini menjadi “kubu intelektualisme akademis” yang hanya meramaikan panggung debat dan diskusi tanpa kontribusi nyata dalam perubahan sosial. Mahasiswa sering kali hanya menyuarakan keresahan dan kritik, namun tidak melibatkan diri dalam advokasi atau perlawanan nyata. Dalam konteks ini, kritik yang dilontarkan bukan sekadar soal gagasan, tetapi juga tentang bagaimana menghidupi gagasan tersebut di tengah masyarakat yang membutuhkan perubahan.
Daniel Dhakidae, seorang sosiolog Indonesia, mengemukakan pentingnya keberlanjutan komitmen etis dan aksi sosial dari kalangan intelektual muda. Ia menekankan bahwa intelektual yang sejati bukanlah mereka yang hanya berbicara di kelas atau di seminar-seminar, tetapi juga mereka yang berani untuk mengambil langkah konkret di tengah masyarakat. Bagi Dhakidae, wacana sosial tanpa tindakan konkret hanyalah upaya sia-sia yang tidak memiliki dampak nyata bagi mereka yang berada dalam penderitaan sosial dan ekonomi.
Keterjebakan mahasiswa "berhaluan radikal" dalam narasi teoretis belaka ini menandakan bahwa semangat pembaruan yang diusung tahun 1998 mulai meredup. Masyarakat berharap pada mahasiswa dan intelektual muda untuk menjadi penerus tongkat estafet perjuangan, bukan sekadar mereka yang sibuk berdebat di ruang-ruang seminar. Jika mereka terus-menerus bertahan pada retorika tanpa aksi, mahasiswa dengan "gagasan progresif" ini akan kehilangan relevansi, dan perjuangan HAM serta reformasi yang mereka klaim bela akan tergerus oleh ketidakberdayaan. Jika Budiman Sudjatmiko dan generasi 1998 bergerak dari idealisme ke pragmatisme, maka mahasiswa yang hari ini mengusung “gagasan merah muda” pun perlu mengambil pelajaran agar tidak terjebak pada sekadar wacana. Mereka harus menyadari bahwa perjuangan membutuhkan keberanian dan pengorbanan, bukan sekadar retorika yang tak berdampak.
Polemik ini menyadarkan kita bahwa perjuangan HAM dan demokrasi bukanlah hal yang berhenti dengan bergantinya pemerintahan atau adanya reformasi. Selama kasus-kasus pelanggaran HAM belum terselesaikan, dan selama masih ada ketidakadilan yang terjadi, peran mahasiswa dan intelektual muda seharusnya tidak berhenti pada kata-kata. Mereka harus mampu berkontribusi secara nyata agar cita-cita keadilan, demokrasi, dan HAM yang menjadi landasan perjuangan 1998 benar-benar terealisasi, dan bukan hanya menjadi nostalgia atau kenangan semu belaka.