Generasi 90-an dan Warisan Kelam G30S/PKI: Krisis Literasi dan Trauma Kekerasan
Tragedi G30S/PKI adalah salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarah Indonesia, yang dampaknya tidak hanya terbatas pada perubahan politik, tetapi juga pada pembentukan memori kolektif bangsa. Pada masa Orde Baru, di bawah pemerintahan Suharto, narasi resmi tentang peristiwa ini disebarkan melalui berbagai media, yang bertujuan untuk memperkuat kekuasaan dengan menanamkan rasa takut dan kebencian terhadap kelompok yang dianggap berseberangan dengan negara. Media, terutama film, menjadi alat utama untuk mengontrol persepsi masyarakat. Film “Pengkhianatan G30S/PKI” yang diputar secara rutin di sekolah-sekolah dan televisi nasional pada akhir 80-an hingga awal 90-an menjadi simbol dari propaganda tersebut. Film ini menggabungkan elemen kekerasan dan dramatisasi visual yang mendalam, meninggalkan dampak psikologis yang besar, khususnya bagi generasi yang tumbuh besar pada masa itu.
Dalam konteks sosiologis, tragedi ini tidak hanya dilihat sebagai peristiwa sejarah yang perlu diingat, tetapi juga sebagai alat untuk menanamkan ideologi. Proses penanaman ideologi ini melibatkan penggunaan media secara sistematis untuk memengaruhi persepsi masyarakat. Seperti yang dijelaskan oleh ahli sejarah, Benedict Anderson, dalam karyanya _Imagined Communities_, negara memiliki kemampuan untuk membentuk memori kolektif melalui kontrol terhadap narasi sejarah. Menurut Anderson, "Negara tidak hanya menciptakan sejarah, tetapi juga menciptakan cara masyarakat untuk mengingatnya." Pemutaran film "Pengkhianatan G30S/PKI" merupakan contoh konkret dari upaya tersebut, di mana negara mengendalikan cara generasi muda memaknai peristiwa tragis ini.
Generasi 90-an yang tumbuh dengan tontonan rutin film tersebut mengalami trauma visual yang mendalam. Film tersebut secara grafis menampilkan kekerasan, penyiksaan, dan pembunuhan yang dilihat secara berulang kali oleh anak-anak dan remaja tanpa adanya bimbingan kritis dari orang tua maupun guru. Pada masa itu, media menjadi alat tunggal untuk mengkonstruksi realitas, dan generasi muda tidak diberikan ruang untuk meresapi atau mempertanyakan kebenaran yang ditampilkan. Trauma yang dihasilkan dari paparan kekerasan ini berdampak pada cara generasi 90-an memandang kekerasan dan sejarah.
Seperti yang diungkapkan oleh sejarawan Asvi Warman Adam, "Narasi tentang G30S/PKI adalah narasi yang dibuat oleh penguasa untuk tujuan politik. Dengan memonopoli narasi tersebut, masyarakat menjadi korban manipulasi sejarah yang membatasi mereka untuk berpikir kritis." Ketika narasi sejarah menjadi dogma yang tidak bisa digugat, kemampuan masyarakat untuk mengembangkan literasi kritis pun terhambat. Krisis literasi kritis yang melanda Indonesia pada masa Orde Baru ini berakar dari pembatasan akses terhadap informasi yang beragam dan kebebasan akademis. Sekolah-sekolah hanya mengajarkan satu versi sejarah tanpa memberikan ruang untuk diskusi atau penelusuran alternatif.
Selain itu, krisis literasi ini diperparah oleh kurangnya akses terhadap bacaan yang beragam. Buku-buku sejarah yang tersedia di sekolah maupun perpustakaan umumnya merupakan buku yang disetujui oleh pemerintah dan hanya memberikan satu sudut pandang. Di masa Orde Baru, perdebatan tentang sejarah G30S/PKI tidak dimungkinkan, karena siapa pun yang mencoba untuk mempertanyakan narasi resmi akan dianggap sebagai simpatisan komunis. Hal ini mengakibatkan matinya kebebasan akademis dan literasi kritis, khususnya di kalangan generasi muda. Mereka diajarkan untuk menerima informasi secara pasif tanpa ada ruang untuk refleksi atau pertanyaan.
Selain trauma sejarah, generasi 90-an juga menghadapi eksposur yang berlebihan terhadap kekerasan visual, yang tidak hanya datang dari film propaganda negara tetapi juga dari berbagai media hiburan. Maraknya film-film aksi dan horor yang menggambarkan kekerasan secara grafis turut membentuk ambang batas generasi ini terhadap representasi kekerasan. Mereka menjadi terbiasa dengan gambar kekerasan tanpa memiliki kemampuan kritis untuk menganalisis dampaknya terhadap psikologi atau moralitas. Kombinasi antara propaganda kekerasan negara dan media hiburan yang sadis menciptakan generasi yang kurang peka terhadap kekerasan tetapi juga kurang memiliki alat kritis untuk memaknainya.
Generasi 90-an, sebagai produk dari perpaduan trauma visual dan krisis literasi kritis, memberikan kita gambaran tentang bagaimana negara bisa menggunakan media untuk membentuk kesadaran sosial, sekaligus melanggengkan kekerasan struktural. Trauma yang dihasilkan dari film propaganda dan minimnya kemampuan kritis untuk memeriksa ulang sejarah merupakan warisan yang masih dirasakan hingga hari ini. Penting bagi kita, sebagai masyarakat modern, untuk mendorong pendidikan literasi kritis, terutama di kalangan generasi muda, agar mereka dapat memahami sejarah secara lebih objektif dan reflektif, serta membangun kesadaran akan pentingnya diversifikasi sumber informasi.
Menyadari bahwa sejarah sering kali ditulis oleh penguasa, kita harus mengajarkan generasi berikutnya untuk selalu bersikap kritis terhadap narasi-narasi tunggal dan berusaha untuk mencari perspektif yang lebih luas. Seperti yang dikatakan oleh George Orwell, “Siapa yang menguasai masa lalu, menguasai masa depan; siapa yang menguasai masa kini, menguasai masa lalu.” Dengan mengajarkan generasi muda untuk mempelajari sejarah secara kritis, kita memberi mereka kekuatan untuk tidak menjadi korban manipulasi politik dan propaganda.