Kala penat menyelimuti otak, sejenak inginku simpan saja semua ini, berat rasanya memangkul beban seperti, hingga terkadang aku lupa makan atau bersenang-senang seperti kebanyakan orang, apa ini karena aku sudah keterlaluan, ah memang sudah waktunya aku mereposisi diri, sudah waktunya aku duduk manis depan layar televise, menjadi penyaksi tanpa ada kemauan lagi untuk terlibat, aku lelah selelah mungkin, kemiskinan, penindasan, sepertinya semua itu hanya sekelumit masalah yang bahan ocehan diwarung kopi, komoditas jualan yang paling laku jadi bahan berita, tapi aku tak mau lupa sedikitpun, apalagi ketika aku membaca sejarah tanah ini, begitu merah dengan darah.
 Aku teringat munir, kurus kecil namun begitu bersahaja, begitu ditakuti, dan kemudian dibunuh begitu saja, dan hingga kini, seperti yang lainnya kasusnya seperti menjadi cerita misteri, seperti cerita mereka yang hilang kala revolusi mei 98 terjadi, duh aku berpikir sejenak saat aku asik memandangi poster jangan diam di ruangan ini, poster yang aku beli beberapa tahun lalu, poster yang selalu mengintimidasiku kala aku memilih bungkam dan tak bersuara, tapi sekali lagi aku tengah penat, bahkan muak dengan statusku saat ini mahasiswa, yang katanya sih agen perubahan, halah-halah perubahan apanya,yang aku tau dan rasakan aku seperti pelacur pengetahuan, yang hanya mampu membacot retorika semu tanpa tindak nyata, jualan isme, dari komunal kerakyatana, sosial kerakyatan, humanis proletariat,sampai jualan tolologi sepertinya aku mampu, karena aku mahasiswa, siswa dengan kata maha yang kuartikan seenak perut sebagai orang paling printer se nagari sampah ini,
Jempol memijit kening, aku resah, seresah mungkin, menatap sinis kearah  handphone, satu pesan singkat muncul, “kembali TNI menembak rakyat”, anjing aku berucap keras dalam hati, nyatanya doktrin kolonial masih begitu pekat dalam jiwa mereka,Doktrin kolonial selalu menempatkan rakyat sebagai musuh yang harus ditindas. Duh katanya sudah merdeka tapi mentalitas seperti itu masih dipelihara, bukankah seharusnya mereka mengayomi rakyat, toh peluru mereka dibeli dari uang rakyat, ah sudahlah mari menari saja dalam ketololan yang sempurna, karena life has no CTRL+Z,
ini memang bukan sebuah pernyataan teoritis tapi ini hanya rasa murka terhadap tradisi bacot didalam kampus, yang membuat dinding pemisah antara rakyat dan mahasiswa semakin tinggi, juga ini merupakan akumulasi rasa kesal dari sikap mereka yang berlindung dibalik aktivisme basi demi meraih posisi tertentu, juga pada merekay yang terlibat dalam pergerkan sosial, tapi selalu memilih menunggu instruksi untuk membela daripada bergerak atas nama kesadaran sendiri, penat ini rasanya semakin menghimpit, jerat oligarki pun makin menjadi, ditambah korporatokasi membuat hidup semakin loyal pada yang namnaya kertas, kertas dengan tato nominal yang bisa membuat mata terbelalak sampai melupa kata-kata, bahkan lupa diri dan akhirnya berkooptasi dengan tiran kehidupan,.
Tapi dibalik penat ini, kurasakan sakit ini makin menyenangkan, karena derita di tanah ini adalah teman setia ketika sunyi menginvasi jiwa, atas nama kegelisahan, rasa penat, juga rasa murka, beribu cinta kuhaturkan pada ulat-ulat bulu yang memeberiku kuliah tentang pentingnya menjaga keseimbangan alam.
                                                                                                             Salam Gincu Tebal