Bapakku guru Bahasa Inggris. Tapi jangan bayangkan guru yang kaku, duduk manis di meja dengan dasi dan buku teks.
Dia bukan tipe guru yang cuma baca modul dan nyuruh murid salin definisi. Gaya ngajarnya sederhana, tapi penuh akal. Ia lebih suka mengajak murid berdiskusi daripada menggurui. Dia tak segan menyelipkan cerita kehidupan saat menjelaskan grammar, dan justru karena itu pelajarannya terasa membumi.
Kalau ada murid yang salah, dia tak langsung memotong. Tapi dibiarkan menyelesaikan jawabannya dulu, lalu dia arahkan perlahan, dengan gaya bicara yang tenang tapi tegas. Dia percaya, belajar itu soal keberanian untuk mencoba, bukan soal takut salah.
Metode ngajarnya tidak nyentrik, tapi menyenangkan. Kadang dia pakai contoh-contoh dari kehidupan sehari-hari: dari tukang bakso sampai pertandingan sepak bola di kampung. Bahasa Inggris menjadi hal yang dekat, bukan momok. Dan murid-murid pun menghormatinya bukan karena takut—tapi karena merasa dihargai.
Ia mengajar bukan dari tumpukan buku, tapi dari kedalaman hati.
Sampai suatu hari dia pulang dari Jakarta. Bawa piagam, baju batik yang baru diseterika, dan cerita singkat soal penghargaan Guru Teladan Nasional. Diserahkan langsung oleh presiden.
“Bapak nggak tahu kenapa dipilih. Mungkin karena ngajarnya ngaco,” katanya sambil nyengir, minum kopi sambil selonjoran.
Waktu itu aku masih kelas 3 SMA. Nggak ikut ke Jakarta. Cuma lihat piagamnya di ruang tamu, digantung seadanya. Belum paham. Belum bisa bangga. Buatku, dunia bapak adalah dunia yang rapi, tertib, penuh aturan. Aku belum ngerti kenapa ada orang yang bisa setia tiap hari ke sekolah cuma buat ngomongin grammar dan nilai murid yang sering salah tulis nama sendiri.
Lalu aku kuliah. Dan seperti banyak anak muda yang baru kenal filsafat dan forum diskusi, aku mulai merasa cerdas merasa paham dunia. Terlibat gerakan mahasiswa, jadi jurnalis kampus, masuk ke ruang-ruang rapat yang tak pernah selesai. Kami bicara soal sistem, ketidakadilan, dan utopia. Kami marah dengan elegan.
Dan suatu hari, aku turun ke jalan.
Aksi kecil di Jalan Asia Afrika. Puluhan mahasiswa. Suara toa yang nyaring tapi sumbang. Ban bekas kami sulut api. Presiden yang sama datang ke kota ini. Presiden yang dulu nyalamin tangan bapakku, kini disambut kobaran dan spanduk tuntutan.
Aku berdiri di tengah asap, dan tiba-tiba kepikiran: "Presiden ini pernah ngasih piagam ke bapak gua."
Gue nggak bangga. Tapi juga nggak menyesal. Momen itu aneh—kecil, tapi terasa besar di dalam. Karena di situlah aku sadar: dunia kami beda.
Bapak percaya perubahan datang dari ketelatenan. Dari menulis absen, menyebut nama murid satu-satu, dan tetap mengajar meski gaji telat. Dia percaya perubahan butuh waktu dan ketulusan.
Sedangkan aku ingin dunia runtuh besok. Ingin sistem dibakar, ingin perubahan instan, ingin terdengar lantang meski belum tentu dalam. Kami bicara di meja makan, tapi sering tak berbicara dalam bahasa yang sama. Dan mungkin, memang begitu semestinya.
Tapi hidup berputar.
Aku lulus. Coba berdikari. Buka usaha interior kayu—rancang meja, bikin rak, dan antar sendiri pakai pickup milik pribadi. Bukan sekadar bengkel belakang rumah, aku rintis semuanya dari bawah: bikin katalog di Tokopedia, optimasi alamat di Google Bisnis, dan ngerespon chat pelanggan sampai tengah malam.
Ada masa aku merasa ini jalanku. Ada pesanan masuk dari luar kota, testimoni baik, dan rasanya seperti: "Akhirnya, ini kerja yang gua bangun sendiri." Tapi hidup tak selalu sehalus permukaan triplek. Order mulai sepi, harga bahan melambung, dan strategi promosi mulai kehilangan daya. Tabungan tergerus pelan-pelan.
Aku terpaksa berhenti.
Bukan kalah, cuma sadar: idealisme butuh napas panjang dan modal yang lebih dari sekadar semangat.
Akhirnya aku kerja kantoran. Masuk HR. Dunia kontrak, surat peringatan, rekap absen dan lembur. Dunia yang dulu aku ejek sebagai "sistem," kini jadi tempatku bertahan. Begadang bukan lagi karena rapat malam, tapi karena spreadsheet dan keluhan karyawan.
Dan kini... aku kembali ke sekolah.
Bukan sebagai guru. Tapi sebagai staf tata usaha. Aku duduk di ruang yang sunyi tapi sibuk. Mengatur data siswa, memastikan dokumen rapi, jadi jembatan diam antara ruang guru dan kepala sekolah. Tak terlihat, tapi sangat dibutuhkan.
Bapak sekarang sudah pensiun. Tapi kami sering duduk malam-malam. Minum teh. Ngobrol soal sekolah. Aku cerita soal server dapodik yang ngadat, dia cerita soal muridnya yang dulu sekarang jadi kepala sekolah. Kami akhirnya duduk di dunia yang sama. Dunia pendidikan. Tapi kami tiba dari arah yang berbeda.
Dulu, aku kira aku lari jauh dari bapakku.
Tapi sekarang, di dunia kerja yang aku jalani hari ini,
aku bersyukur… karena justru di sini, aku bisa jauh lebih dekat dengan nasihat bapak.