About Me
- Aulia
- adalah harapan menciptakan sebuah mimpi.adalah mimpi membuat aku hidup.adalah hidup yang telah merangkaikan cerita.adalah cerita tentang aku.
06 Desember 2025
12 November 2025
Ketika Surga Menjadi Sunyi: Membaca Just Like Heaven dan Fatherless di Hari Ayah
Hari Ayah datang seperti bayangan yang lembut namun berat. Di sebagian rumah, tawa dan ucapan terucap ringan; di sebagian lainnya, hanya ada keheningan yang menua bersama ingatan. Tak semua rindu punya alamat, dan tak semua kasih sempat diucapkan. Musik menjadi bahasa paling jujur untuk hal-hal yang gagal kita katakan. Salah satunya melalui lagu Just Like Heaven dari The Cure — sebuah karya yang berbicara tentang cinta, kehilangan, dan kerinduan yang tetap hidup bahkan setelah kehadiran menghilang.
Dalam Just Like Heaven, Robert Smith menulis seolah sedang merayakan cinta. Ritmenya ringan, melodinya berlari, namun di dalamnya bersembunyi getir yang dalam. Surga yang ia sebut bukan tempat abadi, melainkan momen fana yang terasa sempurna sebelum akhirnya menguap. Lirik “I found myself alone above a raging sea” menyingkap paradoks yang menyentuh: di balik kebahagiaan selalu ada potensi kehilangan. Lagu ini, seperti kenangan akan pelukan ayah yang dulu hangat namun kini hanya berupa gema, menjadi simbol betapa segala yang kita sebut surga mungkin hanya sementara. Namun justru di situlah keindahannya bahwa kasih tak harus abadi untuk bisa berarti.
Hari Ayah, dengan segala simbolnya, bukan hanya perayaan atas figur, tapi juga refleksi atas luka dan warisan emosional yang kita bawa dari mereka. Sebab dalam setiap anak yang tumbuh, selalu ada bayangan ayah — entah hadir atau absen, nyata atau hanya berupa nama yang kita bisikkan dalam doa. Cinta seorang ayah sering kali tidak diucapkan dalam kata, melainkan dikerjakan dalam diam: di jam-jam pagi yang dingin, di langkah yang terburu, di kerja yang tak sempat menyaksikan tumbuh anaknya.
Maka bagi mereka yang ayahnya tak sempat mengantar ke sekolah, ingatlah:
“Tak semua ayah sempat mengantar anaknya ke sekolah, tapi setiap langkah anak itu tetap membawa namanya.”
Continue Reading11 November 2025
Disiplin
Disiplin itu dipromosikan seperti skincare ajaib yang katanya bisa memperbaiki hidup cuma dengan dipakai rutin. Padahal yang jual omongan itu hidupnya sendiri masih berantakan, target meleset, manajemen waktu amburadul, tapi tetap sok penceramah tentang komitmen dan produktivitas.
Orang-orang mengangkat disiplin setinggi langit, seakan itu malaikat penjaga karier. Padahal aslinya ya cuma suara alarm yang berisiknya minta ditampar. Dia datang pagi-pagi buta, bergaya seperti konsultan manajemen, padahal kalau disiplin itu manusia, dia pasti tipe rekan kerja yang kontribusinya minim tapi paling rajin ngasih feedback.
Yang lucu, yang paling getol ngomong soal disiplin biasanya justru yang moral deadline-nya paling goyah. Begitu telat kirim laporan, mereka nyalain rapat, jaringan, cuaca, dan sejarah bangsa, pokoknya semua kecuali diri sendiri. Produktif sekali dalam urusan alasan.
Disiplin itu juga tidak pernah sensitif terhadap kondisi manusia. Kamu capek, pusing, patah hati, atau ingin hilang dari peradaban, dia tidak peduli. Dia cuma berdiri dengan wajah datar dan bilang kerja terus, gerak terus, evaluasi terus. Andai dia makhluk hidup, sudah lama dia dilaporkan ke HR karena toxic.
Tetap saja, meski cara kerjanya menyebalkan, kita butuh dia. Tanpa disiplin, hidup bakal mirip data penting yang tidak pernah di backup: rusak sedikit langsung hancur total. Kita tidak perlu menyukainya, cukup tunduk sedikit agar hidup tidak berubah jadi tumpukan keputusan keliru.
Akhirnya disiplin itu bukan mentor bijaksana. Dia satpam masa depan yang cerewet dan sinis. Tapi dia satu-satunya yang berani ngomong terang-terangan bahwa kalau kita terus menggampangkan hidup, masa depan cuma akan jadi laporan kerusakan, bukan rencana yang bisa dibanggakan.
10 November 2025
Laut yang Menghubungkan Kita: Mochtar Kusumaatmadja dan Wawasan Nusantara di Hati Anak 90-an
Setiap tanggal 10 November, saat bangsa ini memperingati Hari Pahlawan Nasional, kita diajak untuk mengenang bukan hanya mereka yang berjuang dengan bambu runcing, tapi juga mereka yang menyalakan obor lewat pikiran. Mochtar Kusumaatmadja adalah salah satunya. Ia bukan pejuang di medan perang, tapi pahlawan di meja diplomasi memperjuangkan agar dunia mengakui bahwa Indonesia adalah satu kesatuan, bukan sekumpulan pulau yang kebetulan berdekatan.
Dalam pelajaran IPS, istilah Wawasan Nusantara sering terdengar seperti konsep berat. Tapi kalau dipikir lagi, itu sebenarnya semacam puisi sosial tentang persatuan. Mochtar mengajarkan bahwa laut yang tampak memisahkan kita sesungguhnya adalah tangan yang merangkul semua perbedaan. Bahwa bangsa ini, dari Sabang sampai Merauke, dari ujung pesisir sampai kota-kota yang sibuk, adalah satu keluarga besar yang hidup di antara ombak dan angin tropis.
Kini, ketika kita hidup di zaman serba daring di mana jarak terasa dekat tapi hati kadang terasa jauh gagasan Mochtar terasa makin relevan. Wawasan Nusantara bukan cuma peta politik, tapi juga peta perasaan: mengingatkan kita untuk tidak lupa bahwa Indonesia dibangun oleh kesadaran saling terhubung. Sama seperti dulu laut yang menyatukan para pelaut dan pedagang, sekarang jaringan digital seharusnya menyatukan kita, bukan memisahkan.
08 November 2025
Ledakan Makna di SMA 72: Kisah Luka, Tanda, dan Identitas yang Tak Diberi Ruang
Ledakan yang mengguncang SMA 72 Jakarta pada awal November bukan hanya suara benda yang meledak; ia adalah suara dari sesuatu yang jauh lebih dalam suara dari tanda-tanda yang selama ini diabaikan. Di masjid sekolah, ruang yang semestinya menjadi tempat teduh, tiba-tiba pecah oleh dentuman kekerasan. Dan di balik dentuman itu, kita menemukan sebuah artefak: senjata rakitan dengan ukiran “Welcome to Hell”, dihiasi nama-nama pelaku kekerasan masjid dari belahan dunia lain Tarrant, Traini, Bissonnette sosok-sosok yang tidak seharusnya hadir di ruang belajar anak-anak.
Polisi menyebut kemungkinan bahwa pelakunya adalah seorang siswa yang “sering dibully”, seorang remaja yang keberadaannya berjalan di garis pinggir sosial sekolah. Dan di sinilah narasi itu berubah: ini bukan sekadar tindakan kriminal, bukan sekadar “anak yang iseng dengan senjata”, melainkan potret utuh dari bagaimana simbol-simbol ekstrem menjadi bahasa baru bagi mereka yang kehabisan cara untuk menyampaikan diri.
Bullying tidak pernah hanya menjadi candaan antarteman atau kenakalan kecil. Dalam semiotika sosial, bullying adalah sistem tanda bahasa yang mengatur siapa yang layak didengar dan siapa yang harus diam. Setiap ejekan, setiap tatapan meremehkan, setiap tepukan palsu di punggung, setiap penyingkiran dari kelompok tugas, semuanya menyampaikan pesan yang sama: kamu tidak dihitung di sini. Pesan itu menumpuk setiap hari, dan semakin menumpuk, semakin keras pula ia bergema di dalam dada anak yang menerimanya.
Dan ketika dunia nyata menutup pintu, dunia simbol membuka jendelanya. Anak yang terpinggirkan akan mencari makna di tempat-tempat yang tidak dibayangkan orang dewasa: di video game, di forum gelap, di meme yang menertawakan kekerasan, di estetika hitam-merah yang tampil seperti grafis pemberontakan. Nama-nama teroris global itu bukan dipilih karena ideologinya dipahami, tetapi karena mereka tampil sebagai ikon ketangguhan semu tokoh yang dianggap “berani melawan”, meski yang dilawannya adalah kemanusiaan itu sendiri.
Masjid sekolah yang menjadi lokasi ledakan itu, dalam analisis semiotik, bukan sekadar tempat kejadian. Ia adalah simbol yang dirusak. Ruang tenang tempat anak-anak bernaung seakan dipilih sebagai panggung untuk menunjukkan betapa jauh remaja itu telah berjalan dari batas aman. Ketika ruang suci ditembus oleh tanda-tanda kegelapan, kita bukan hanya melihat tindakan, tetapi pesan: bahwa rasa aman tidak lagi merasuk ke hati seseorang yang setiap hari diremehkan.
Narasi tentang siswa pendiam yang dibully ini tidak boleh dibaca sebagai “faktor kecil”. Ini adalah inti persoalan. Bullying menciptakan jurang, dan di ujung jurang itu, simbol-simbol ekstrem menunggu dengan tangan terbuka. Budaya pop menyediakan visual, warna, gaya, meme, dan kata-kata yang bisa dipungut siapa saja. Sementara sekolah, kadang tanpa sadar, menyediakan sunyi yang cukup luas bagi seorang remaja untuk merasa tidak terlihat oleh siapa pun.
Ketika dunia digital menyediakan ikon yang tampak kuat, dan dunia nyata menyediakan tatapan yang meremehkan, pilihan bagi remaja tertentu tampak seperti garis yang tak terhindarkan. Ia meminjam bahasa kekerasan untuk mengganti bahasa dirinya yang hilang. Ia mengambil nama-nama yang tidak pernah ia temui untuk melawan nama-nama yang setiap hari merundungnya. Ia menulis “Welcome to Hell” bukan karena ia ingin menghancurkan dunia, tetapi karena dunia telah lama menulis pesan serupa di punggungnya melalui perlakuan teman sebaya.
Tragedi ini mengajarkan kita bahwa tanda-tanda kecil selalu muncul lebih dulu sebelum tindakan besar pecah. Doodle kecil di buku, tulisan aneh di dinding, wallpaper ponsel bergambar tokoh gelap, perubahan sikap, keheningan yang semakin dalam semuanya adalah teks yang dapat dibaca jika kita mau memperhatikan. Sekolah sering sibuk dengan absensi, nilai, dan rapat, tetapi lupa bahwa kehidupan batin anak-anak jauh lebih ramai daripada daftar kehadiran.
Dalam kacamata semiotik, ledakan di SMA 72 bukan hanya ledakan fisik. Ia adalah letusan simbol-simbol yang tak pernah ditafsirkan. Ia adalah jeritan dari bahasa yang dibentuk oleh bullying, oleh rasa sunyi, oleh estetika ekstrem, oleh dunia digital yang menawarkan pelarian sekaligus jebakan. Ia adalah peringatan bahwa kekerasan tidak lahir tiba-tiba; ia selalu diawali tanda.
Dan tanda itu sering muncul di wajah anak yang kita kira baik-baik saja.
Peristiwa ini akhirnya mengingatkan kita bahwa tugas sekolah bukan hanya memastikan kurikulum berjalan, tetapi memastikan makna hidup seorang anak tetap utuh. Bullying bukan persoalan disiplin semata; ia adalah persoalan identitas. Dan ketika identitas retak, simbol-simbol gelap akan mengambil alih pekerjaan kita.
Ledakan di SMA 72 adalah tragedi. Tetapi ia juga undangan undangan untuk membaca lebih peka, mendengar lebih dalam, dan tidak pernah lagi mengabaikan bahasa luka yang selama ini kita anggap sebagai kenakalan kecil.
06 November 2025
Guru IPS, Ledakan Demografi, dan Tantangan Zaman Digital
---
“Kita hidup di zaman digital, tapi kadang masih disuruh menulis masa depan di selembar kertas ujian.
Siapa bilang pelajaran IPS itu membosankan? Justru di dalamnya tersimpan kisah besar tentang manusia, perubahan sosial, dan cara kita menata masa depan. IPS bukan sekadar hafalan peta atau teori ekonomi, tetapi latihan berpikir kritis untuk memahami dunia, dunia yang kini tak lagi dibaca lewat buku semata, melainkan juga lewat layar.
Kini di banyak sekolah, Interactive Flat Panel (IFP) berdiri megah di depan kelas. Layarnya berkilau, menampilkan dunia dalam bentuk interaktif: grafik populasi bergerak, peta konflik muncul dalam warna, dan berita dunia tersaji hanya dengan satu sentuhan. Guru IPS memandu murid menafsirkan data, menghubungkannya dengan realitas sosial di sekitar. Semua terasa futuristik, sampai tiba hari ulangan.
Tiba-tiba, semuanya kembali ke kertas. Printer kembali bekerja keras, tinta habis, dan murid memegang lembar soal seperti tiket menuju masa lalu. Digitalisasi memang sering gagah di seminar, tapi rapuh di lapangan: Wi-Fi yang angin-anginan, kuota internet yang habis sebelum jam pelajaran selesai, atau gawai yang harus berbagi dengan adik di rumah.
Di tengah gegap gempita teknologi, muncul paradoks lain: ledakan demografi. Jumlah generasi muda meningkat pesat, membawa energi, kreativitas, dan harapan, tetapi juga tantangan besar bagi dunia pendidikan. Sekolah penuh oleh murid yang lahir digital, tapi banyak ruang kelas yang belum siap secara digital. Kita punya bonus demografi, tetapi belum tentu punya bonus infrastruktur.
Di sinilah pelajaran IPS menemukan urgensinya. Guru IPS tidak hanya mengajarkan konsep penduduk usia produktif, tetapi juga memaknai apa artinya menjadi produktif di zaman penuh distraksi. Ia menjelaskan tentang struktur sosial sambil mengaitkannya dengan struktur jaringan, tentang pembangunan ekonomi sambil menyinggung ekonomi digital, tentang perubahan budaya sambil mengingatkan agar tidak kehilangan akar kemanusiaan.
Digitalisasi, IFP, dan Information and Future Perspective (IFP) seharusnya berjalan seiring dengan kesadaran sosial. Bahwa teknologi hanyalah alat, bukan tujuan. Bahwa kemajuan tanpa keadilan sosial hanya akan melahirkan jurang baru, antara yang punya akses dan yang tertinggal.
Maka guru IPS hari ini bukan sekadar pengajar, tapi penafsir zaman. Ia berdiri di antara layar dan lembar ujian, di antara data dan kenyataan, di antara bonus demografi dan keterbatasan teknologi. Ia mengingatkan murid-muridnya, masa depan bukan sesuatu yang bisa diunduh, tapi harus dihidupi, dipahami, dan diperjuangkan.
“Ledakan demografi bisa jadi berkah atau bencana, semuanya tergantung, apakah pendidikan kita sekadar menyalakan layar, atau juga menyalakan kesadaran.”
22 Oktober 2025
Emanasi Ketuhanan dan Liberasi Kemanusiaan: Menafsir Hari Santri secara Transendental

Setiap 22 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Santri sebuah momentum yang bukan hanya mengingat sejarah, tetapi juga menafsirkan ulang makna keberagamaan dalam tubuh kebangsaan. Dalam perjalanan sejarah, santri bukan sekadar sosok berpeci dan bersarung yang tekun mengaji, melainkan emanasi ruh bangsa: pancaran spiritual yang menjiwai kesadaran sosial, moral, dan politik.
Dari pesantren-pesantren yang tersembunyi di antara sawah dan gunung, lahir gelombang kesadaran baru tentang kebebasan dan tanggung jawab. Resolusi Jihad 1945 yang dipelopori KH. Hasyim Asy’ari menjadi simbol bagaimana kesalehan individual bisa bertransformasi menjadi gerak sosial yang revolusioner. Dari ruang-ruang ngaji yang sederhana, santri belajar bahwa cinta kepada Tuhan tidak boleh terpisah dari cinta kepada tanah air. Nasionalisme bukan barang pinjaman, melainkan buah dari iman yang tumbuh dalam rahim pesantren.
Dalam filsafat, emanasi berarti pancaran yang keluar dari sumbernya tanpa kehilangan asalnya. Begitu pula santri: ia lahir dari tradisi ketuhanan, namun tetap berpijak di bumi. Nilai-nilai Ilahiah yang disemaikan di pesantren memancar ke ranah sosial, membentuk etika kolektif yang sederhana tapi kokoh. Ketika santri berjuang, ia tidak memisahkan mihrab dari medan perang; keduanya adalah satu bentuk ibadah yang sama.
Namun perjuangan santri tak berhenti pada heroisme masa lalu. Dalam konteks sosiologis, santri adalah gerakan liberasi—pembebasan dari kolonialisme, kebodohan, dan ketergantungan pada sistem yang menindas kesadaran. Jika dulu kolonialisme menindas tubuh, maka modernitas menindas pikiran. Pesantren menjadi ruang perlawanan yang sunyi, tempat manusia dibebaskan dari belenggu materialisme dan ketaklidan. Liberasi santri bukan semata soal senjata dan pertempuran, melainkan pencerahan akal, penjernihan hati, dan keberanian untuk berpikir merdeka dalam bingkai nilai-nilai spiritual.
Namun yang paling esensial dari semua itu adalah transendensi. Santri sejati tahu bahwa perjuangan sosial tanpa kesadaran spiritual akan kehilangan arah. Ia bergerak, bekerja, dan berjuang bukan untuk dunia semata, tetapi untuk mencapai makna hidup yang lebih tinggi. Transendensi menjadi puncak dari segala gerak: melampaui batas duniawi untuk menyentuh langit, melampaui ego untuk kembali kepada sumber segala cahaya. Dalam perjalanan itu, santri tidak hanya menjadi warga negara yang baik, tetapi juga hamba yang sadar bahwa segala pengorbanan akhirnya bermuara pada Allah.
Hari Santri, dengan demikian, bukan sekadar ritual peringatan, melainkan refleksi atas keberlanjutan ruh kebangsaan. Ia mengingatkan kita bahwa iman dan perjuangan sosial adalah satu tarikan napas. Dari emanasi lahir gerak, dari liberasi lahir kesadaran, dan dari transendensi lahir kedamaian.
Selama masih ada santri baik di pesantren, sekolah, kampus, pabrik, atau ruang digital selama itu pula Indonesia masih memiliki ruh yang hidup. Sebab di tangan santri, agama tidak menjadi beban, melainkan cahaya; dan Indonesia tidak sekadar tempat tinggal, melainkan medan ibadah
Continue Reading18 Oktober 2025
Yang Tidak Menikmati Filsafat: Catatan tentang Maskulinitas yang Rapuh
Mungkin memang benar, semua laki-laki sama. Mereka lahir dari rahim yang berbeda, tapi tumbuh di bawah bayang sistem yang sama, patriarki yang menyanjung ketegasan dan memusuhi keraguan. Sejak kecil mereka diajarkan untuk menahan tangis, menekan rasa, dan menyimpan diam di balik dada yang dipaksa tampak kuat.
Aku sering berpikir, seperti yang ditulis Soe Hok Gie dalam catatan hariannya, bahwa manusia kehilangan kejujuran karena takut menjadi berbeda. Laki-laki pun demikian. Mereka menyeragamkan diri demi diterima, bukan karena ingin benar-benar menjadi dirinya sendiri. Dalam dunia yang terlalu ramai oleh simbol kejantanan, menjadi reflektif dianggap ganjil, menjadi lembut dianggap kalah.
Ahmad Wahib pernah menulis bahwa manusia beriman bukan yang berhenti bertanya, tapi yang terus mempertanyakan Tuhan agar imannya tidak membatu. Aku rasa begitu pula laki-laki terhadap dirinya. Menjadi laki-laki yang utuh bukanlah soal memiliki otot atau status, tapi berani bertanya siapa aku di tengah sistem ini, dan apa yang telah kulakukan terhadap diriku sendiri.
Namun tidak semua laki-laki menikmati filsafat. Tidak semua sanggup menanggung rasa sepi yang datang saat berpikir. Filsafat menelanjangi ketakutan terdalam, membuka luka yang selama ini ditutup oleh gengsi sosial. Banyak laki-laki yang berhenti di pinggir jalan kesadaran, menutup diri di balik tawa dan karier, karena berpikir terlalu dalam bisa membuat mereka kehilangan pegangan, kehilangan citra, kehilangan tempat berpijak.
Padahal mungkin di situlah kemanusiaan bermula. Saat seseorang mulai berani merasa asing terhadap dirinya sendiri. Ketika seorang laki-laki berhenti menjadi produk sosial dan mulai menjadi subjek yang sadar. Sosiologi mengajarkan bahwa identitas bukanlah pemberian, melainkan hasil negosiasi yang terus-menerus dengan dunia sosial. Maka laki-laki yang mau menikmati filsafat adalah mereka yang berani menegosiasikan kembali siapa dirinya, di luar apa yang diharapkan masyarakat darinya.
Soe Hok Gie pernah menulis, lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan. Dan aku kira, laki-laki yang berani berpikir, yang berani menolak seragam peran sosialnya, memang sedang menyiapkan diri untuk diasingkan. Tapi justru dalam keterasingan itu, lahir kemerdekaan yang paling sejati, kesadaran bahwa menjadi manusia lebih penting daripada menjadi laki-laki yang ideal di mata masyarakat.
Catatan 18 Oktober. Malam ini aku berpikir tentang bagaimana kesunyian kadang lebih jujur dari keramaian. Tentang laki-laki yang sibuk membangun citra, tapi lupa menatap dirinya sendiri. Mungkin benar, semua laki-laki sama, tapi hanya sedikit yang berani berjalan di lorong sunyi kesadaran, menikmati filsafat, dan berdamai dengan ketakutan yang selama ini disembunyikan oleh kejantanan.
Continue Reading17 Oktober 2025
Jatinangor Tempat Cinta Dosa dan Skripsi Berbaris Rapi
Jatinangor itu bukan sekadar nama daerah ia adalah semacam “universitas kehidupan” buat ribuan anak rantau yang datang dengan koper, tas ransel, dan mimpi yang masih mulus kayak baju wisuda yang belum dipakai. Semua datang dengan harapan tinggi, lalu pelan-pelan dibenturkan dengan realita: angkot ngetem, kosan bocor, dan tugas kuliah yang jumlahnya lebih banyak dari isi dompet.
Di minggu pertama kuliah, semua masih wangi-wangi. Mahasiswa baru jalan ke kampus pakai kemeja rapi, rambut klimis, senyum penuh semangat. Tapi dua bulan kemudian, kemeja berubah jadi hoodie belel, sepatu putih jadi abu-abu, dan wajah penuh kantung mata. Di sinilah Jatinangor mulai menunjukkan wataknya: kota kecil yang akan menguji siapa yang beneran niat kuliah dan siapa yang cuma numpang ngekos.
Perjuangan mahasiswa di sini kadang nggak kelihatan. Mereka belajar di kamar sempit yang cuma muat kasur busa tipis dan galon air, masak mie rebus jam dua pagi karena lapar tapi warung udah tutup, atau kerja sambilan di kafe sepulang kuliah biar bisa bayar sewa kos. Ada yang bangun subuh bukan karena rajin salat, tapi karena antre kamar mandi satu buat lima orang.
Mimpi-mimpi besar mulai dililit kenyataan kecil: revisi bab tiga, dosen killer, deadline mendadak, dan jaringan Wi-Fi kos yang lebih sering hilang ketimbang muncul. Tapi entah kenapa, semua tetap lanjut. Mungkin karena jauh di lubuk hati, mereka tahu: gelar sarjana ini bukan cuma buat diri sendiri. Ini buat emak-bapak di kampung yang tiap bulan ngirim uang sambil nahan napas. Buat tetangga yang suka nyombong, “Tuh, anaknya kuliah di Jatinangor!” Buat diri sendiri yang pengin buktiin: hidup bisa ditempuh dengan kaki sendiri, meski jalannya becek dan tanjakannya bikin ngos-ngosan.
Tentu, Jatinangor juga ladang cinta dan dosa. Dari kosan belakang kampus sampai Warmindo Sepang, banyak kisah asmara tumbuh subur, ada yang mekar sampai pelaminan, ada juga yang layu di tengah jalan karena… skripsi. Tapi di balik semua drama cinta dan dosa, ada naskah perjuangan yang nggak pernah ditulis: bagaimana anak-anak muda ini belajar bertahan, bermimpi, dan tumbuh jadi orang dewasa meski kadang masih ngutang di warung sebelah.
Jatinangor mengajarkan bahwa hidup bukan soal siapa paling cepat lulus, tapi siapa paling tahan banting. Yang kuat bukan cuma yang pinter, tapi yang tetap bisa ketawa meski revisi balik lagi kayak mantan yang nggak tahu malu.
14 Oktober 2025
Between Mosque and Mountain: A Qualitative Glimpse into the Spiritual Tug of War in Kampung Mahmud
12 Oktober 2025
Cerita dari Kampung Adat Kuta dan Mahmud
Di sebuah tikungan jalan antara modernitas yang terus melaju dan tradisi yang enggan tunduk, ada dua kampung yang memilih berjalan pelan: Kampung Kuta di Ciamis dan Kampung Mahmud di pinggiran Bandung. Keduanya tidak sekadar “kampung adat” dalam pengertian turistik; mereka adalah ruang-ruang sunyi yang menjadi saksi panjang tarik-ulur sejarah, spiritualitas, dan modernitas yang kerap datang seperti badai.
Kampung Kuta tersembunyi di lembah perbukitan, bagai halaman kitab tua yang belum selesai dibaca. Tidak ada rumah beratap seng, tidak ada kendaraan bermotor yang berseliweran. Warganya hidup dalam kesederhanaan yang bukan romantisasi, melainkan bentuk disiplin kultural yang diwariskan turun-temurun. Di sini, modernitas tak ditolak mentah-mentah, tapi disaring dengan laku hidup kolektif yang nyaris seperti “konstitusi tak tertulis”. Setiap sudut kampung seperti menyimpan perjanjian diam-diam antara manusia dan alam: sebuah etika ekologis yang tidak dikhotbahkan, tetapi dijalani.
Sementara itu, Kampung Mahmud berdiri di tepian Sungai Citarum, menyimpan kisah tentang dakwah dan penyebaran Islam di tanah Pasundan. Modernitas menyapa lebih dekat ke Mahmud dibanding Kuta. Namun, di tengah gempuran urbanisasi Bandung Raya, Mahmud tetap teguh menjaga kesakralan tata ruang dan ritus keagamaannya. Rumah-rumah tradisional berdiri berdampingan dengan bangunan semi permanen, menciptakan lanskap sosial yang unik: setengah menatap masa lalu, setengah menatap masa depan. Mahmud tak menutup diri dari dunia luar, tapi ia menegaskan batas: modernitas boleh masuk, tapi dengan tata krama.
Di titik inilah gagasan Soedjatmoko terasa relevan. Intelektual publik ini pernah mengingatkan bahwa modernitas di Indonesia bukanlah soal menyalin Barat secara mentah, melainkan proses pencarian bentuk rasionalitas yang berpijak pada kebudayaan sendiri. Modernitas, katanya, seharusnya menjadi usaha sadar untuk menumbuhkan nilai-nilai modern dalam konteks masyarakat kita, bukan sekadar mengejar teknologi dan pembangunan fisik. Jika nasihat itu kita dengar dengan saksama, maka keberadaan Kuta dan Mahmud bukanlah anomali melainkan cermin kecil dari kemungkinan modernitas Indonesia yang lebih berakar.
Kuta menolak penggunaan material industri dalam bangunannya bukan karena ketinggalan zaman, tetapi karena mereka memahami betul ritme alam dan spiritualitas lokal sebagai fondasi kehidupan. Mahmud pun bukan sekadar kampung religius; ia menunjukkan bagaimana agama dapat menjadi kerangka moral dalam menghadapi tekanan modernisasi urban. Dalam arus besar pembangunan yang seringkali menyingkirkan ruang-ruang kultural, dua kampung ini memilih bernegosiasi dengan zaman, bukan menyerah padanya.
Soedjatmoko juga menyoroti bahwa modernitas sering datang ke Indonesia dalam bentuk proyek negara dari atas ke bawah, seragam, sering mengabaikan keanekaragaman lokal. Tapi di Kuta dan Mahmud, modernitas tidak “datang”, melainkan dinegosiasikan perlahan-lahan oleh komunitas itu sendiri. Inilah bentuk “rasionalitas lokal” yang tak kalah modern, meski tampil sunyi. Mereka memilih mengatur ruang hidup dan ritus sosialnya sesuai logika sendiri, bukan logika pasar atau kota.
Pada akhirnya, modernitas bukan sekadar deru mesin dan kilatan layar gawai. Ia juga bisa berupa keputusan sunyi untuk tetap menanam padi dengan cara lama, untuk tetap menata rumah kayu tanpa paku besi, untuk tetap menjaga tata ruang kampung sebagaimana diwariskan leluhur. Modernitas, seperti diingatkan Soedjatmoko, adalah soal kesadaran dan pilihan, bukan sekadar soal kecanggihan.
Kampung Kuta dan Kampung Mahmud mengajarkan kepada kita bahwa zaman boleh berubah, tetapi manusia punya hak untuk menentukan bagaimana ia akan hidup di dalamnya. Mereka bukan museum hidup, bukan pula objek wisata eksotis. Mereka adalah penafsir zaman menunjukkan bahwa ada modernitas yang bisa lahir dari kesunyian, dari doa, dari kesetiaan pada tanah.
Dan mungkin, justru di situlah letak modernitas Indonesia yang sesungguhnya: bukan sekadar ikut arus global, tapi berani menentang dengan cara sendiri, dalam jejak sunyi yang menolak deru zaman.
GELAR AULIA.Sos
Continue Reading

