Extractor secret Code
Kode OTP
Bookmarklet untuk akses cepat kode OTP
Karena Setiap Gelap Adalah Warna Utuk Semangkuk Mimpi Diatas Bantal
Bookmarklet untuk akses cepat kode OTP
Siapa bilang pelajaran IPS itu membosankan? Justru di dalamnya ada cerita besar tentang dunia kita, tentang manusia, dan tentang masa depan bangsa. Nah, tantangan guru IPS sekarang makin unik, karena murid-murid hidup di era digital, sementara di luar sana kita menghadapi “ledakan demografi” alias jumlah generasi muda yang makin membengkak.
Bayangkan sebuah kelas SMP. Guru membawa peta besar, sementara murid-murid lebih sibuk dengan ponselnya. Dunia sudah berubah. Data mengalir cepat, video satu menit bisa menjelaskan sejarah perang dunia, dan istilah seperti deep learning atau kecerdasan buatan pun mulai mampir di telinga remaja. Guru IPS tak bisa lagi hanya membaca buku teks. Ia harus kreatif, mengaitkan teori dengan kehidupan nyata murid.
Kalau diajarkan dengan cara begitu, IPS jadi terasa dekat, nyata, bahkan seru. Murid bukan cuma menghafal istilah, tapi juga melihat bahwa mereka bagian dari cerita besar yang sedang berlangsung.
Ledakan demografi bisa jadi bonus, bisa juga jadi beban. Semua tergantung bagaimana generasi muda dipersiapkan. Guru IPS punya peran penting di sini: bukan hanya mengajar, tapi juga menginspirasi. Bukan hanya menjelaskan peta, tapi menyalakan kompas dalam diri murid, agar tahu ke mana harus melangkah.
Jadi, mari kita lihat lagi peran guru IPS di sekolah. Ia bukan sekadar penjaga hafalan, tapi penenun masa depan. Dengan adaptasi, kreativitas, dan hati yang hangat, pelajaran IPS bisa berubah dari “mata pelajaran hafalan” menjadi “mata pelajaran kehidupan.”
Continue ReadingSiapa bilang pelajaran IPS itu membosankan? Justru di dalamnya ada cerita besar tentang dunia kita, tentang manusia, dan tentang masa depan bangsa. Nah, tantangan guru IPS sekarang makin unik, karena murid-murid hidup di era digital, sementara di luar sana kita menghadapi “ledakan demografi” alias jumlah generasi muda yang makin membengkak.
Bayangkan sebuah kelas SMP. Guru membawa peta besar, sementara murid-murid lebih sibuk dengan ponselnya. Dunia sudah berubah. Data mengalir cepat, video satu menit bisa menjelaskan sejarah perang dunia, dan istilah seperti deep learning atau kecerdasan buatan pun mulai mampir di telinga remaja. Guru IPS tak bisa lagi hanya membaca buku teks. Ia harus kreatif, mengaitkan teori dengan kehidupan nyata murid.
Kalau diajarkan dengan cara begitu, IPS jadi terasa dekat, nyata, bahkan seru. Murid bukan cuma menghafal istilah, tapi juga melihat bahwa mereka bagian dari cerita besar yang sedang berlangsung.
Ledakan demografi bisa jadi bonus, bisa juga jadi beban. Semua tergantung bagaimana generasi muda dipersiapkan. Guru IPS punya peran penting di sini: bukan hanya mengajar, tapi juga menginspirasi. Bukan hanya menjelaskan peta, tapi menyalakan kompas dalam diri murid, agar tahu ke mana harus melangkah.
Jadi, mari kita lihat lagi peran guru IPS di sekolah. Ia bukan sekadar penjaga hafalan, tapi penenun masa depan. Dengan adaptasi, kreativitas, dan hati yang hangat, pelajaran IPS bisa berubah dari “mata pelajaran hafalan” menjadi “mata pelajaran kehidupan.”
PIP adalah cerita yang selalu berulang tiap tahun ajaran baru. Sebuah program yang lahir dari niat baik, tetapi sering berjalan dengan langkah pincang. Anak-anak di kelas bertanya lirih kepada gurunya, “Bu, saya dapat tidak?” Pertanyaan sederhana, tetapi di belakangnya ada wajah orang tua yang sudah resah menghitung biaya ongkos harian, buku tulis, dan seragam baru yang tak kunjung terbeli.
Di papan pengumuman sekolah, nama-nama penerima tercetak rapi. Beberapa siswa bersorak kecil, sisanya hanya menelan ludah. Di ruang Tata Usaha, fotokopi kartu keluarga, KIP, dan buku tabungan menumpuk seperti bukti kemiskinan yang harus diulang-ulang agar dipercaya. Seakan-akan miskin masih harus dipamerkan di atas kertas agar layak dianggap miskin.
Lalu tibalah hari pencairan. Bank penuh sesak dengan antrean. Ada tawa lega dari yang berhasil mencairkan, ada wajah hampa dari yang namanya tidak pernah muncul. Di tengah keramaian itu, terselip kenyataan pahit: PIP tidak selalu hadir untuk yang paling membutuhkan, tetapi lebih sering menjadi semacam undian ada yang beruntung, ada yang menunggu, ada yang terus kecewa.
PIP memang menolong, tetapi juga menorehkan getir. Ia menjanjikan agar tidak ada anak yang putus sekolah, tetapi ongkos angkot tidak bisa dibayar dengan janji, dan harga beras tidak turun hanya karena nama tercantum di daftar penerima.
Meski begitu, orang tua tetap menunggu. Guru tetap mendata. Anak-anak tetap berharap. Dalam hidup yang serba pas-pasan, bahkan secuil bantuan pun menjadi alasan untuk terus bertahan.
Begitulah PIP: sebuah cerita getir yang terus diulang, setiap tahun, di setiap sekolah, di setiap keluarga yang berjuang di tengah kekurangan.
PIP bukan sekadar angka dalam rekening, melainkan sebuah simbol:
bahwa negara, setidaknya, mencoba hadir di antara deru langkah kecil
anak-anak menuju masa depan.
G.A
Tendik Dibatas Api
Jean-Paul Sartre pernah menulis bahwa cinta adalah proyek yang hampir mustahil. Dua kebebasan bertemu, lalu saling mencoba memiliki. Tetapi kebebasan, pada hakikatnya, tidak bisa dipenjara. Maka setiap upaya untuk menjadikan cinta sebagai kepemilikan sering berujung pada kegagalan. Dari situ lahirlah kecemburuan, luka, pengkhianatan. Cinta berubah dari pelukan hangat menjadi borgol emas.
Namun Albert Camus, sahabat eksistensial yang lebih riang, mengingatkan kita: jangan menuntut makna final dari cinta. Sama seperti hidup, cinta itu absurd. Kita mencintai meski tahu akhirnya bisa hancur. Kita mengulang jatuh cinta meski sadar batu itu akan menggelinding turun seperti nasib Sisyphus. Dan di sanalah justru letak keberanian kita. Cinta tidak harus menjanjikan kekekalan, cukup menjadi alasan untuk tersenyum di tengah absurditas.
Nietzsche masuk dengan teriakannya yang khas. Ia menolak cinta yang tunduk pada moral lama, pada dogma, atau pada tata aturan yang mencekik. Baginya, cinta harus menjadi afirmasi hidup: teriakan lantang bahwa kita berani berkata “iya” pada dunia, sekalipun dunia itu kejam dan penuh kehancuran. Cinta bukan sekadar rasa, tetapi juga ledakan vitalitas, sebuah cara untuk menari di tepi jurang sambil tetap merasa hidup.
Di sudut lain, Marx menatap kita dengan senyum getir. Ia tahu cinta tak pernah steril dari ekonomi politik. Kapitalisme menjual cinta dalam bentuk paket bulan madu, perhiasan, iklan parfum, bahkan dalam algoritma aplikasi kencan. Cinta dijadikan komoditas, dipasarkan, diberi harga. Kita sering mengira sedang mencinta, padahal sebenarnya hanya sedang memainkan skrip yang ditulis oleh pasar. Marx mengingatkan bahwa ada relasi produksi bahkan dalam pelukan paling mesra.
Mikhail Bakunin, sang anarkis, tak mau kalah. Ia berteriak bahwa cinta sejati hanya bisa lahir dari kebebasan mutlak. Tidak ada negara, tidak ada hukum adat, tidak ada tangan besi yang boleh mengatur siapa boleh mencintai siapa. Bagi Bakunin, cinta adalah api revolusi kecil yang menyala di dada manusia yang menolak diperintah. Cinta menjadi ruang perlawanan, tempat dua orang merobohkan tembok yang membatasi kebebasan mereka.
Maka cinta tampil bukan hanya sebagai bunga, tapi juga sebagai pisau. Ia bisa menjadi absurditas yang lucu, bisa menjelma nihilisme yang getir, bisa tergelincir menjadi komoditas, atau justru meledak menjadi revolusi. Cinta bukan sekadar soal hati, tapi juga soal tubuh, soal struktur, soal kebebasan. Ia bisa membuat manusia pasrah, tapi juga bisa membuat manusia berontak.
Dan pada akhirnya, kita hanya bisa mengaku: cinta adalah pilihan. Ia tidak menunggu izin dari Tuhan, pasar, atau negara. Ia lahir dari keberanian manusia untuk menggenggam tangan seseorang, meski tahu genggaman itu rapuh. Ia berdiri di atas tanah yang retak, menatap langit yang kosong, tapi tetap berani berkata: aku memilihmu.
Itulah cinta eksistensial, absurd, komoditas, sekaligus revolusi. Sebuah paradoks yang, justru karena itulah, terus membuat kita hidup.
Mari kita jujur. Sosiologi di UIN Bandung sering kali terasa kayak konser musik tanpa sound system: teorinya banyak, tapi suaranya nggak pernah sampai ke luar kelas. Kita diajari Marx, Weber, Durkheim, Parsons, bahkan nama-nama yang bikin lidah kepleset, tapi giliran keluar kampus, realitas sosial jalan terus tanpa pernah menoleh ke kita.
Kampus lebih sibuk mencetak sarjana ketimbang mencetak keberanian. Ujung-ujungnya, jurusan ini mirip pabrik—mesin administrasi yang ngeluarin ijazah dengan barcode, bukan ruang produksi pemikiran. Hasilnya? Lulusan yang hafal teori struktur-agensi, tapi bingung menjelaskan kenapa tukang parkir bisa lebih berkuasa daripada mahasiswa semester akhir.
Bahasa yang dipakai pun seperti mantra yang nggak bisa dipahami masyarakat. Skripsi ditulis dengan jargon tebal, tapi orang tua di rumah cuma bisa geleng kepala: “Jadi, kamu empat tahun kuliah belajar apa?” Kuliah lapangan? Lebih mirip wisata akademik. Jalan ke kampung, tanya tiga pertanyaan, foto bareng, lalu pulang. Padahal Bandung dan Jawa Barat penuh kasus sosial yang bisa jadi laboratorium hidup, dari banjir Dayeuhkolot sampai relasi patron-klien di pasar tradisional.
Ironisnya, psikologi bisa laku di Instagram karena ngomongin mental health, antropologi keren karena bisa nulis soal budaya dan kuliner, sementara sosiologi sibuk dengan seminar berjudul panjang yang audiensnya hanya mahasiswa sosiologi itu sendiri. Ilmu yang katanya kritis justru kehilangan ruang publik.
Jurusan ini butuh keberanian buat keluar dari pabrik pencetak pekerja. Sosiologi seharusnya bukan sekadar tiket jadi dosen atau admin kantor, tapi cara membaca dunia. Kalau terus begini, sosiologi akan tetap jadi ilmu yang “lengkap di buku, kosong di jalanan.” Sebuah disiplin yang pandai mengkritik, tapi takut dikritik.
Jujur saja, kalau sosiologi UIN Bandung tidak berani merombak diri, cepat atau lambat ia akan kalah relevan dibanding tukang rokok eceran yang lebih mengerti jaringan sosial daripada mahasiswa yang hafal Habermas.
Continue ReadingSosiologi itu apa sih? Banyak yang bilang ini ilmu serius tentang masyarakat tapi jangan salah, sosiologi itu sebenarnya ilmu yang paling kepo, cerewet, dan kadang ngeselin tapi seru. Tugasnya bukan cuma bikin teori ribet di buku, tapi ngintip, nanya, dan ngerti kenapa orang bisa hidup bareng walau beda-beda banget.
Sosiologi itu kayak detektif kehidupan sehari-hari. Misalnya, lihat anak-anak nongkrong di kantin: siapa yang duduk sama siapa, siapa yang cuma numpang eksis buat story Instagram, atau kenapa ada yang selalu bawa bekal macem-macem padahal bisa beli di kantin. Semua hal kecil itu menarik buat sosiologi. Setiap kebiasaan sehari-hari, dari antre makan, gaya bahasa di TikTok, sampai poster demo di sekolah, bisa jadi “materi sosiologi” yang seru untuk dianalisis.
Yang bikin sosiologi gokil adalah ia bisa serius tapi nggak serius-serius amat. Ia punya teori, punya sejarah panjang, punya tokoh-tokoh keren kayak Auguste Comte atau Karl Marx. Tapi di sisi lain, sosiologi juga hobi ngejek kebiasaan sosial yang dianggap normal. “Normal” itu buat siapa? Diproduksi siapa? Itulah pertanyaan yang bikin sosiologi kayak teman ngobrol yang selalu kepo tapi lucu.
Sosiologi ngajarin kita untuk ngeliat dunia dari banyak sudut. Gaya hidup teman-teman, tren media sosial, sampai ritual kecil di sekolah semua bisa dianalisis. Dan lucunya, seringkali hal-hal yang kita anggap biasa justru menyimpan makna besar. Misalnya, siapa yang selalu kebagian tugas kelompok, siapa yang jadi “pengamat” di lapangan olahraga, atau kenapa poster tertentu bisa bikin ramai di sekolah.
Selain itu, sosiologi itu punya sisi satir senang menertawakan hal-hal yang sok serius. Misal, acara resmi di sekolah kadang lebih mirip sandiwara daripada rapat beneran. Sosiologi bilang: “Eh, lihat deh, ini manusia lagi main peran!” Tapi dari situlah kita belajar banyak: kenapa kekuasaan bisa jalan begitu, bagaimana solidaritas terbentuk, dan kenapa kita harus sadar sama dunia sosial kita.
Jadi, sosiologi itu bukan cuma tentang buku dan teori. Ia tentang melihat hidup sehari-hari dengan mata kritis tapi tetap enjoy, menikmati tanda tanya, dan ngerti bahwa hidup sosial nggak pernah sesederhana yang kita kira.
Singkatnya: sosiologi itu seru, cerewet, kadang ngeselin, tapi bikin kita pinter melihat dunia. Serius tapi santai. Kritik tapi bisa ketawa. Dan yang paling penting: bikin kita sadar kalau dunia ini penuh warna, absurd, tapi asik untuk ditafsirkan.
Fenomena anarkisme imitasi yang kerap muncul dalam demonstrasi di Indonesia merupakan gejala menarik dalam dinamika gerakan sosial kontemporer. Jika sebelumnya aksi massa identik dengan konsolidasi, kesadaran politik, serta solidaritas kolektif, kini muncul pola baru yang lebih menekankan performa simbolik ketimbang substansi perjuangan. Kelompok yang kerap disebut sebagai “anarko cabe-cabean” menghadirkan bentuk perlawanan instan yang berorientasi pada gaya dan estetika, dengan mengadopsi simbol-simbol gerakan anarkis global seperti pakaian serba hitam, masker, serta aksi vandalisme terhadap ruang publik.
Dalam perspektif poskolonial, fenomena ini dapat dipahami melalui konsep mimicry yang dikemukakan oleh Homi K. Bhabha. Mimicry adalah praktik meniru simbol, gaya, dan narasi dari “yang lain”, dengan harapan memperoleh legitimasi atau identitas tertentu. Namun peniruan ini tidak pernah sepenuhnya sama; ia hadir sebagai bentuk hibrid yang justru menyingkap keterasingan. Anarkisme imitasi di Indonesia menampilkan ciri khas mimicry tersebut: sebuah gerakan yang meniru simbol-simbol perlawanan global tanpa keterhubungan yang mendalam dengan realitas lokal.
Padahal, secara historis, anarkisme di Eropa dan Amerika Latin tumbuh dari basis sosial yang berbeda. Ia lahir dari pergulatan panjang kelas buruh dalam masyarakat industrial, berhadapan dengan struktur kapitalisme maju dan represi negara. Ketika simbol-simbol ini diimpor ke Indonesia tanpa dialektika dengan kondisi sosial setempat yang lebih banyak ditandai oleh struktur rural, patronase politik, serta dominasi ekonomi informal hasilnya bukanlah penguatan gerakan, melainkan reduksi makna demonstrasi menjadi sekadar pertunjukan.
Implikasi dari fenomena ini cukup serius. Kolektivitas yang dahulu menjadi landasan gerakan mahasiswa mulai tergerus, karena publik justru melihat demonstran sebagai ancaman terhadap ruang publik, bukan sebagai representasi aspirasi rakyat. Legitimasi gerakan pun melemah, sebab aksi-aksi destruktif memperkuat stigma bahwa demonstrasi tidak lebih dari kerusuhan. Yang tersisa hanyalah citra “pemberontakan kosmetik”, perlawanan yang sibuk menampilkan kostum dan gaya, tetapi miskin analisis terhadap problem struktural yang dihadapi masyarakat.
Dengan demikian, apa yang disebut sebagai anarkisme cabe-cabean lebih tepat dipahami sebagai ekspresi subkultural ketimbang praksis politik yang serius. Ia merupakan hibrid yang terjebak dalam logika mimicry: meniru tanpa mampu menanamkan makna kontekstual. Alih-alih memperkuat perlawanan, gerakan ini justru mengikis solidaritas, mengasingkan basis sosial, dan menjerumuskan aksi massa ke dalam ruang performatif yang dangkal.
Agar gerakan sosial kembali memperoleh legitimasi, diperlukan reposisi strategi yang berakar pada realitas konkret masyarakat Indonesia. Demonstrasi hanya akan bermakna apabila lahir dari denyut nadi rakyat, bukan dari simbol impor yang kehilangan relevansi. Kolektivitas tidak bisa dibangun dari kostum hitam atau semprotan cat, melainkan dari kesadaran bersama akan ketidakadilan yang nyata di hadapan kita.
Continue ReadingDi zaman ini, kita sering terjebak pada dua kutub: di satu sisi, semangat administratif yang kering, penuh laporan, nilai, dan angka; di sisi lain, idealisme luhur yang kadang terasa jauh dari ruang kelas yang sesungguhnya. Namun pendidikan tak boleh berhenti di salah satunya. Ia mesti berakar di tanah realitas, tapi juga tumbuh menjulang ke langit cita-cita.
Deep learning hari ini bukan sekadar istilah teknologi. Ia adalah ajakan agar kita tidak lagi melihat belajar sebagai tumpukan hafalan. Belajar mesti menembus, menggali, melampaui permukaan. Seperti halnya Paulo Freire yang menekankan kesadaran kritis, pendidikan harus membangunkan murid dari tidur panjang ketidaksadaran, mengajak mereka membaca dunia, bukan hanya membaca kata.
Di tanah air kita, Ki Hadjar Dewantara telah lama menanamkan benih yang sama. Baginya, pendidikan adalah soal budi pekerti, kedirian, dan kemerdekaan. Tut wuri handayani bukan sekadar slogan di dinding kelas, melainkan kompas yang seharusnya menuntun arah: guru membimbing dengan teladan, menginspirasi dengan semangat, dan mendampingi tanpa mengikat.
Di sinilah peran guru wali menjadi sentral. Ia bukan sekadar “penjaga absen” atau “pengawas kedisiplinan”. Guru wali adalah penjaga jiwa di tengah gelombang sistem. Ia menjadi tempat bertanya, tempat curhat, tempat murid merasa dilihat bukan hanya sebagai angka dalam daftar nilai, melainkan sebagai manusia dengan mimpi, luka, dan potensi yang unik.
Jika kurikulum hari ini menekankan “pembelajaran mendalam”, maka guru wali adalah nahkoda yang menuntun kapal kecil bernama kelas menuju samudra makna. Ia memastikan setiap murid tidak karam, tapi menemukan pelabuhan mereka masing-masing. Ia menghubungkan gagasan-gagasan lama yang penuh kebijaksanaan dengan dunia baru yang penuh ketidakpastian.
Maka, ketika teknologi semakin mendominasi, ketika birokrasi kadang membuat kita letih, kita mesti kembali pada hakikatnya: pendidikan adalah perjalanan memanusiakan manusia. Deep learning hanya akan bermakna bila ia tidak sekadar berhenti di perangkat digital atau istilah akademik, melainkan hidup dalam dialog, kasih sayang, dan pendampingan nyata di ruang kelas.
Pendidikan yang mendalam bukanlah pendidikan yang menjejalkan, melainkan pendidikan yang membuka. Ia ibarat taman: siswa adalah benih, guru adalah pengair, dan kurikulum hanyalah pagar agar arah tumbuh tidak liar. Yang kita jaga adalah kehidupan yang bertunas, bukan angka yang beku.
Akhirnya, kita belajar lagi dari Freire: bahwa pendidikan sejati adalah praktik kebebasan. Dan kita belajar lagi dari Ki Hadjar: bahwa pendidikan adalah untuk kemerdekaan manusia. Dua gagasan ini bertemu di masa kini, menyapa kita dengan wajah baru bernama deep learning.