Contra Quietem: Hidup Bukan untuk Diam
atas nama cinta, anarki, dan keberanian menjadi utuh
Kawan muda,
dunia ini tidak pernah menunggu siapa pun siap.
Ia terus berjalan dalam tenangnya sendiri,
menggulung yang ragu, melibas yang terlambat.
Ia datang membawa kabar baik dan buruk dengan tempo yang sama datarnya.
Dulu, pernah ada yang diterima di Bulaksumur.
Bukan sekadar kampus,
tapi janji tentang hidup yang dijalani dengan tanya,
bukan sekadar diselesaikan.
Tempat di mana ilmu bukan menara gading,
melainkan jalan panjang yang tak selalu lurus.
Tapi arah bisa berubah,
seperti cuaca yang tak menjanjikan musim.
Langkah sempat berpindah ke sebuah kampus di Pasirkaliki—
di tengah kota yang riuh dan penuh papan neon.
Di sana, hidup terasa seperti antrean panjang
menuju sesuatu yang tidak sepenuhnya diyakini.
Ramai tapi asing.
Tertib tapi jauh dari tenteram.
Lalu sebuah keputusan diambil
untuk minggat.
Melalui pintu kecil bernama SPMB,
menuju kampus di kaki Gunung Manglayang,
di mana kabut turun perlahan
dan pagi tidak pernah terburu-buru.
Di luar kelas, hidup mulai menunjukkan wajah lain.
Dunia aktivisme membuka jalan ke kota-kota baru,
dengan suara-suara yang jarang terdengar.
Jurnalisme kampus mengajari cara mendengar sebelum berkata,
cara bertanya tanpa menghakimi.
Dan di sela-sela itu,
ada pertemanan yang tak diajarkan silabus,
ada tawa yang tumbuh dari kejujuran,
ada malam-malam panjang yang tak dihabiskan demi nilai,
tapi demi memahami mengapa semuanya harus berarti.
Namun bahkan di tengah semangat itu,
kadang datang sepi yang tak bisa dijelaskan.
Karena ternyata,
kita bisa terlihat sibuk mencari,
padahal sedang menjauh dari diri sendiri.
Di titik itu, seseorang mulai belajar:
bahwa hidup bukan lomba.
Bahwa nilai tinggi tidak menjamin arah yang tepat.
Bahwa kadang, kita perlu tersesat dulu
untuk benar-benar mengerti arah pulang.
Dan pelan-pelan,
bahasa ditemukan
untuk menamai luka,
untuk memetakan rasa hilang,
untuk berdamai dengan hal-hal yang tak bisa diubah.
Kawan,
hidup bukan tentang siapa yang paling cepat sampai.
Bukan tentang siapa yang paling dipuji.
Tapi tentang siapa yang mampu bertahan
dengan jujur dan utuh,
meski pelan dan sendiri.
Jika suatu hari kau bingung,
jangan buru-buru merasa gagal.
Bingung adalah tanda bahwa kau masih berpikir.
Masih hidup.
Jika marah,
marahlah yang jujur.
Jangan menyamar dalam keteraturan.
Jangan menyuap hati dengan ketenangan palsu.
Dan jika langkahmu nanti tak dimengerti banyak orang,
itu tak apa.
Karena tak semua yang besar itu benar,
dan tak semua yang sunyi itu sesat.
Ketahuilah:
jalan pulang tidak selalu pendek.
Ada yang harus melingkar,
ada yang harus mundur,
ada yang harus duduk dulu
untuk mendengar detak jiwanya sendiri.
Dan jika harus memilih,
jadilah api.
Bukan yang membakar segalanya,
tapi nyala yang tak minta izin untuk hidup.
Yang tahu mengapa ia menyala,
dan tak gentar meski sendirian.
Peluklah jalanmu.
Cintai takdirmu.
Lawan apa pun yang membuatmu mengecil.
Tolak hidup yang mematikan jiwamu demi rapi dan sopan.
Karena pada akhirnya,
hidup hanya berpihak pada mereka yang berani menyalakan diri.
Atas nama cinta dan anarki,
atas nama keberanian untuk menjadi utuh
hidup yang setengah-setengah, bukan pilihan
