27 Juli 2025


Di sebuah lekuk jalanan Kabupaten Bandung yang padat namun perlahan tergerus modernitas, terletak sebuah wilayah yang namanya jarang muncul dalam wacana pembangunan: Nanjung, bagian dari Kecamatan Margaasih. Ia bukan desa yang hening, tetapi juga bukan yang bising. Di sana, kehidupan bergulir seperti air di selokan yang mengalir lambat, membawa cerita-cerita kecil yang sering tak terbaca oleh laporan-laporan resmi pemerintah.

Masyarakat Nanjung umumnya bekerja di sektor informal. Data dari BPS Kecamatan Margaasih (2023) mencatat lebih dari 56% warga usia produktif di desa-desa sekitar termasuk Nanjung bekerja sebagai buruh pabrik, pekerja harian lepas, atau pedagang kecil. Sementara hanya sekitar 12% yang bekerja di sektor formal atau aparatur negara. Pendidikan rata-rata warga berhenti di tingkat SMA, dan sebagian besar anak muda yang lulus lebih memilih langsung bekerja ketimbang melanjutkan kuliah sebuah pilihan yang lebih ditentukan oleh kebutuhan ekonomi daripada aspirasi personal.

Ketergantungan terhadap kawasan industri di sekitar Dayeuhkolot dan Leuwigajah membuat arah hidup warga Nanjung terasa telah ditentukan dari awal. Perempuan-perempuan muda belajar menjahit sejak SMP, sementara laki-laki mencari peluang menjadi kuli bangunan atau supir angkutan. Ruang-ruang alternatif untuk tumbuh dan memilih menjadi sempit. Gagasan tentang masa depan dibingkai oleh kebutuhan hari ini: cukup makan, bisa bayar listrik, dan punya motor untuk mobilitas kerja.

Ironisnya, perkembangan fisik wilayah tetap terlihat. Jalan-jalan beton mulai menggantikan tanah merah, dan beberapa minimarket waralaba berdiri menggantikan warung milik warga. Namun kemajuan ini lebih merupakan tampilan permukaan. Di baliknya, warga kecil berjuang menjaga keberlangsungan hidup dari warung-warung kecil di emper rumah atau berjualan gorengan di depan SD negeri. Dalam banyak kasus, mereka kalah saing, tak punya modal maupun akses informasi digital yang memadai.

Akses terhadap pendidikan tinggi dan layanan kesehatan yang berkualitas pun belum merata. Meski Margaasih dekat dari pusat kota, warga Nanjung masih merasa terasing dari keberuntungan urban. Sebuah survei komunitas lokal tahun 2022 mencatat bahwa 3 dari 5 rumah tangga belum memiliki jaminan kesehatan aktif, dan lebih dari separuh anak-anak usia 17–21 tahun tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas.

Determinisme ekonomi di Nanjung tidak datang sebagai keputusan ideologis, melainkan hasil akumulasi keterbatasan. Ini bukan soal malas atau kurang berusaha, tetapi lebih pada sistem yang tak memberikan cukup ruang bagi kemungkinan lain. Struktur sosial menjerat pilihan; jika ayah seorang buruh, besar kemungkinan anaknya akan menjadi buruh pula.

Namun bukan berarti tak ada upaya perlawanan. Di tengah situasi tersebut, beberapa warga muda mencoba memanfaatkan media sosial untuk berdagang daring, menjual keripik, baju bekas, hingga menawarkan jasa ojek lokal berbasis grup WhatsApp. Sekolah-sekolah dasar mulai membuka program ekstrakurikuler digital, meski masih terbatas. Beberapa komunitas literasi dan kajian agama tumbuh di masjid-masjid kecil, menjadi ruang alternatif bagi perenungan dan pengorganisasian diri secara perlahan.

Nanjung, dengan segala kesederhanaannya, bukan sekadar tempat. Ia adalah cermin dari bagaimana realitas ekonomi bisa menjadi takdir sosial, sekaligus ladang kecil bagi benih perlawanan yang tumbuh dalam diam. Dalam ruang yang tertinggal dari pusaran investasi besar dan gempita pembangunan, Nanjung memberi kita pelajaran tentang pentingnya memahami pembangunan tidak sekadar dari angka pertumbuhan ekonomi, melainkan dari sejauh mana sebuah masyarakat dapat benar-benar memilih jalan hidupnya sendiri.